12/15/2012

Noda Dalam Kanvas (Part 2)


       Aku pergi ke Jerman tanpa pamit pada Nuri, membawa ibuku dan adik perempuanku kesana, mencoba peruntungan untuk mencari nafkah di negri orang
       Sesaat aku hendak melangkah untuk mengejar pesawat yang akan kami tumpangi, suara langkah kaki yang kukenal terdengar dari belakang. “Nabil..”
       Suara yang sangat kukenal terdengar sangat parau. Aku menoleh ke belakang, berat rasanya kepala ini saat aku melakukannya. Ia menatapku dengan tatapan penuh kecewa. Air matanya mengalir deras, tubuhnya berdiri lemas seperti tak dapat menahan beban namun ia tetap berkutat untuk menemuiku


Nabil: Nuri maafkan aku—“
Nuri: Tak perlu Nabil, aku tahu segalanya dari Diah. Dia menceritakanku segalanya. Pergilah jika itu memang kewajibanmu, tapi berjanjilah untuk kembali..
Nabil: Nuri maafkan aku, aku tahu aku egois sekali, aku berjanji aku akan kembali untukmu. Bersabarlah, Nuri dan tunggulah aku..
Nuri: Jangan terlalu lama, Bil.. Aku sayang kamu..
     
       Kami berpelukan sangat lama hingga berkali-kali adikku mengingatkanku bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat. Lengan bajuku basah akibat tangisan Nuri dan aku tak pernah merasa bersalah seperti ini. Aku mengecup kening Nuri tanda perpisahan, lama sekali
       “Jangan coba-coba untuk menjadi menyebalkan di sana, nanti kamu nggak punya temen, Bil hahahahaha”. Ia tertawa kaku, senyumnya terpaksa untuk membuatku ikhlas akan perpisahan ini
       “Enak saja, harusnya aku yang bilang kayak gitu ke kamu!”
       Kami berdua tertawa lalu berpisah. Ia tersenyum tipis padaku di saat terakhir aku melihatnya pada hari itu
--------------------------
      Hampir delapan tahun lamanya aku di Jerman, dan aku pulang ke tanah air setelah perpisahanku dengan Nuri waktu itu. Aku malu pulang dengan anak yang kutimang beserta istri yang kurangkul sekarang. Tak sedikitpun wajah Nuri terbayang saat aku di Jerman, dan kini aku merasa sangat bersalah, seperti segala macam beban di dunia ini bertumpu pada pundakku. Namun istriku kemudian mengetahui tentang hal ini memaksaku untuk berterus terang kepada Nuri dan berkunjung ke rumahnya. Istriku seorang wanita Jawa yang berkuliah di sana setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sebagai wanita sudah pasti ia tahu betul bagaimana perasaannya bila ia berada di posisi Nuri sekarang. Sepanjang perjalanan aku terus memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat kenangan kami berdua semasa berpacaran dulu
-------------------------
      Kulangkahkan kakiku dengan berat memasuki pekarangan rumah Nuri. Rumahnya tampak sepi seperti tak berpenghuni. Tak lagi berjejeran tanaman-tanaman yang ibunya pelihara, hanya ada belukar yang tak tertata dan tumbuh dengan liar. Saat kuketukkan pintu rumahnya leherku seperti terganjal sesuatu, seperti ada sesuatu yang menggumpal dalam tenggorokanku. Aku berharap Nuri lah yang akan membukakan pintu itu untukku, namun ibunya yang keluar. Aku menyapa ramah padanya, lalu kami berpelukan. Saat aku bertanya bagaimana keadaan Nuri ia hanya membisu, tertunduk lemas dan memandang lantai rumah dengan tatapan kosong. Ia menunjuk kamar Nuri lalu memberi isyarat kalau aku boleh masuk melihat keadaannya. Ia kemudian pergi ke belakang dan aku masuk menuju kamarnya
     Aku tidak siap untuk melihat reaksi Nuri..
     Aku terlalu takut, sangat amat takut..
     Kugenggam kenop pintu dengan erat lalu membuka pintu dengan perlahan. Aroma khas rumah sakit tercium menusuk hidungku, bau obat-obatan membuat kepalaku pusing. Aku menyipitkan mata untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi kepada Nuri dan saat itu juga...
---------------------
Jakarta, 12 Juli 2010
Nuri, jika kau sudah membaca surat ini aku akan merasa sangat bahagia. Terakhir kali aku mendatangimu kulihat kau sedang tidur maka dari itu aku tak ingin mengganggumu jadi kuputuskan untuk pulang. Ya, aku kembali
Kumohon jangan marah selepas membaca surat ini, tunggu aku menjelaskan segalanya, oke? Ingat, rupamu jelek saat kau marah Nuri!
Kau tahu tidak? Mungkin jika kau ikut denganku kau akan menyukai tempat yang kutinggali. Berlin memang sepadat Jakarta namun udaranya bersih sekali. Orang-orang di sana juga ramah, aku yakin kau akan menyukai Nyonya Margot. Dia tetanggaku, dia senang membuatkan kue untukku. Kue buatannya enak sekali
Di Jerman juga aku menemukan perempuan yang sangat cantik dan anggun, yang sampai sekarang menemaniku suka maupun duka. Karena dia hariku lebih berwarna, karena dia tak pernah sekalipun aku merasa kesepian, ditambah lagi malaikat kecil yang datang dalam kehidupan kami berdua
Ia mirip sekali denganmu Nuri, kalian memiliki banyak persamaan. Rasanya, rinduku padamu terisi olehnya. Namanya Tari, Lestari lebih tepatnya
Tolong jangan kau marah dulu Nuri...
Nuri aku tahu aku salah, aku tahu aku tidak menunggumu, namun aku kembali Nuri, aku kembali. Saat aku melihat keadaanmu terbujur lemas di atas ranjang hatiku hancur. Kau tetap menungguku walau dalam kondisi kritis sekalipun. Aku tak tega mendengar cerita ibumu yang setiap hari mengharapkanmu membuka mata hanya untuk sekali saja. Ia sangat mengharapkan tawamu kembali, sama halnya sepertiku. Aku rindu padamu Nuri, sungguh
Nuri, kenapa kamu harus sakit? Semoga kamu benar-benar sudah pulih kembali saat surat ini kau baca
Jangan tanyakan soal keadaan ibuku, ia sudah sehat bugar. Bahkan untuk koprol saja sepertinya ia mampu kok! Hahahahahaha
Maaf aku hanya bisa menitipkan surat pada ibumu, aku sangat sibuk sekali. Aku harus mengurus pekerjaanku yang tertunda, sekarang aku tulang punggung bagi keluarga ibuku maupun keluarga kecilku. Nabil sayang Nuri, muah! Hahahahaha!
------------------------
       Aku tak pernah mendengar kabar tentang Nuri lagi setelah dua tahun lamanya. Kuputuskan untuk berkunjung ke rumahnya kembali namun tak ada siapa-siapa. Rumah itu kosong tak berpenghuni. Nuri, kemana dirimu? Aku tahu aku telah tidak bertanggung jawab, aku tahu aku sudah menginkari janjiku untuk meminangmu. Aku merindukan celotehan-celotehanmu, aku merindukan gelak tawamu. Kumohon jangan pergi dulu Nuri, aku ingin bertemu denganmu, dimanapun kau berada....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar