Aku pergi ke Jerman tanpa pamit
pada Nuri, membawa ibuku dan adik perempuanku kesana, mencoba peruntungan untuk
mencari nafkah di negri orang
Sesaat
aku hendak melangkah untuk mengejar pesawat yang akan kami tumpangi, suara
langkah kaki yang kukenal terdengar dari belakang. “Nabil..”
Suara
yang sangat kukenal terdengar sangat parau. Aku menoleh ke belakang, berat
rasanya kepala ini saat aku melakukannya. Ia menatapku dengan tatapan penuh
kecewa. Air matanya mengalir deras, tubuhnya berdiri lemas seperti tak dapat menahan
beban namun ia tetap berkutat untuk menemuiku
Nabil: Nuri maafkan aku—“
Nuri: Tak perlu Nabil, aku tahu segalanya dari Diah. Dia
menceritakanku segalanya. Pergilah jika itu memang kewajibanmu, tapi
berjanjilah untuk kembali..
Nabil: Nuri maafkan aku, aku tahu aku egois sekali, aku
berjanji aku akan kembali untukmu. Bersabarlah, Nuri dan tunggulah aku..
Nuri: Jangan terlalu lama, Bil.. Aku sayang kamu..
Kami berpelukan sangat lama hingga berkali-kali adikku mengingatkanku bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat. Lengan bajuku basah akibat tangisan Nuri dan aku tak pernah merasa bersalah seperti ini. Aku mengecup kening Nuri tanda perpisahan, lama sekali
“Jangan
coba-coba untuk menjadi menyebalkan di sana, nanti kamu nggak punya temen, Bil
hahahahaha”. Ia tertawa kaku, senyumnya terpaksa untuk membuatku ikhlas akan
perpisahan ini
“Enak
saja, harusnya aku yang bilang kayak gitu ke kamu!”
Kami
berdua tertawa lalu berpisah. Ia tersenyum tipis padaku di saat terakhir aku
melihatnya pada hari itu
--------------------------
Hampir delapan tahun lamanya aku di Jerman, dan aku pulang ke tanah air setelah perpisahanku dengan Nuri waktu itu. Aku malu pulang dengan anak yang kutimang beserta istri yang kurangkul sekarang. Tak sedikitpun wajah Nuri terbayang saat aku di Jerman, dan kini aku merasa sangat bersalah, seperti segala macam beban di dunia ini bertumpu pada pundakku. Namun istriku kemudian mengetahui tentang hal ini memaksaku untuk berterus terang kepada Nuri dan berkunjung ke rumahnya. Istriku seorang wanita Jawa yang berkuliah di sana setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sebagai wanita sudah pasti ia tahu betul bagaimana perasaannya bila ia berada di posisi Nuri sekarang. Sepanjang perjalanan aku terus memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat kenangan kami berdua semasa berpacaran dulu
Hampir delapan tahun lamanya aku di Jerman, dan aku pulang ke tanah air setelah perpisahanku dengan Nuri waktu itu. Aku malu pulang dengan anak yang kutimang beserta istri yang kurangkul sekarang. Tak sedikitpun wajah Nuri terbayang saat aku di Jerman, dan kini aku merasa sangat bersalah, seperti segala macam beban di dunia ini bertumpu pada pundakku. Namun istriku kemudian mengetahui tentang hal ini memaksaku untuk berterus terang kepada Nuri dan berkunjung ke rumahnya. Istriku seorang wanita Jawa yang berkuliah di sana setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sebagai wanita sudah pasti ia tahu betul bagaimana perasaannya bila ia berada di posisi Nuri sekarang. Sepanjang perjalanan aku terus memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat kenangan kami berdua semasa berpacaran dulu
-------------------------
Kulangkahkan
kakiku dengan berat memasuki pekarangan rumah Nuri. Rumahnya tampak sepi
seperti tak berpenghuni. Tak lagi berjejeran tanaman-tanaman yang ibunya
pelihara, hanya ada belukar yang tak tertata dan tumbuh dengan liar. Saat
kuketukkan pintu rumahnya leherku seperti terganjal sesuatu, seperti ada
sesuatu yang menggumpal dalam tenggorokanku. Aku berharap Nuri lah yang akan
membukakan pintu itu untukku, namun ibunya yang keluar. Aku menyapa ramah
padanya, lalu kami berpelukan. Saat aku bertanya bagaimana keadaan Nuri ia
hanya membisu, tertunduk lemas dan memandang lantai rumah dengan tatapan
kosong. Ia menunjuk kamar Nuri lalu memberi isyarat kalau aku boleh masuk
melihat keadaannya. Ia kemudian pergi ke belakang dan aku masuk menuju kamarnya
Aku
tidak siap untuk melihat reaksi Nuri..
Aku terlalu takut, sangat amat takut..
Aku terlalu takut, sangat amat takut..
Kugenggam
kenop pintu dengan erat lalu membuka pintu dengan perlahan. Aroma khas rumah
sakit tercium menusuk hidungku, bau obat-obatan membuat kepalaku pusing. Aku
menyipitkan mata untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi kepada Nuri dan saat
itu juga...
---------------------
Jakarta, 12 Juli 2010
Nuri, jika kau sudah membaca surat ini aku akan merasa sangat
bahagia. Terakhir kali aku mendatangimu kulihat kau sedang tidur maka dari itu
aku tak ingin mengganggumu jadi kuputuskan untuk pulang. Ya, aku kembali
Kumohon jangan marah selepas membaca surat ini, tunggu aku
menjelaskan segalanya, oke? Ingat, rupamu jelek saat kau marah Nuri!
Kau tahu tidak? Mungkin jika kau ikut denganku kau akan
menyukai tempat yang kutinggali. Berlin memang sepadat Jakarta namun udaranya
bersih sekali. Orang-orang di sana juga ramah, aku yakin kau akan menyukai
Nyonya Margot. Dia tetanggaku, dia senang membuatkan kue untukku. Kue buatannya
enak sekali
Di Jerman juga aku menemukan perempuan yang sangat cantik
dan anggun, yang sampai sekarang menemaniku suka maupun duka. Karena dia hariku
lebih berwarna, karena dia tak pernah sekalipun aku merasa kesepian, ditambah
lagi malaikat kecil yang datang dalam kehidupan kami berdua
Ia mirip sekali denganmu Nuri, kalian memiliki banyak
persamaan. Rasanya, rinduku padamu terisi olehnya. Namanya Tari, Lestari lebih
tepatnya
Tolong jangan kau marah dulu Nuri...
Nuri aku tahu aku salah, aku tahu aku tidak menunggumu,
namun aku kembali Nuri, aku kembali. Saat aku melihat keadaanmu terbujur lemas
di atas ranjang hatiku hancur. Kau tetap menungguku walau dalam kondisi kritis
sekalipun. Aku tak tega mendengar cerita ibumu yang setiap hari mengharapkanmu
membuka mata hanya untuk sekali saja. Ia sangat mengharapkan tawamu kembali,
sama halnya sepertiku. Aku rindu padamu Nuri, sungguh
Nuri, kenapa kamu harus sakit? Semoga kamu benar-benar
sudah pulih kembali saat surat ini kau baca
Jangan tanyakan soal keadaan ibuku, ia sudah sehat bugar.
Bahkan untuk koprol saja sepertinya ia mampu kok! Hahahahahaha
Maaf aku hanya bisa menitipkan surat pada ibumu, aku sangat
sibuk sekali. Aku harus mengurus pekerjaanku yang tertunda, sekarang aku tulang
punggung bagi keluarga ibuku maupun keluarga kecilku. Nabil sayang Nuri, muah!
Hahahahaha!
------------------------
Aku
tak pernah mendengar kabar tentang Nuri lagi setelah dua tahun lamanya.
Kuputuskan untuk berkunjung ke rumahnya kembali namun tak ada siapa-siapa.
Rumah itu kosong tak berpenghuni. Nuri, kemana dirimu? Aku tahu aku telah tidak
bertanggung jawab, aku tahu aku sudah menginkari janjiku untuk meminangmu. Aku
merindukan celotehan-celotehanmu, aku merindukan gelak tawamu. Kumohon jangan
pergi dulu Nuri, aku ingin bertemu denganmu, dimanapun kau berada....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar