12/15/2012

Noda Dalam Kanvas (Part 1)


Dia menunggu...

Tangannya menyusut, tulang pipinya menonjol keluar dan tulang rahangnya terlihat sangat jelas, rambutnya berkurang menjadi sangat sedikit hingga aku dapat melihat kulit kepalanya. Matanya terpejam, terlihat sangat cekung dan kehitaman. Kini ia hanya tulang berbalut kulit. Aku tak mungkin meninggalkannya dengan keadaan seperti ini...
----------
Malam itu udara sangat dingin. Lampu jalanan menyinari hanya seperempat badan jalan. Cahaya senter tak mampu menjangkau jarak yang cukup jauh. Berulang kali aku menyipitkan mataku agar tak menginjak binatang-binatang yang memang suka seenaknya berkeliaran. Nuri terus saja menggenggam tanganku, menyenderkan kepalanya di pundakku. Beberapa kali aku melihat ia memejamkan matanya. Bibirnya bergetar sehingga nampak ia sedang berdoa. Aku hanya dapat merangkulnya yang sedang menahan dingin, saling menghangatkan diri dari udara malam Tanah Parahyangan
“Kita sampai, kau boleh membuka matamu”
Nuri perlahan-lahan membuka matanya, badannya kembali berdiri tegak dan otot wajahnya tidak lagi sekaku tadi. Ia menyipitkan kembali matanya, lalu mengerucutkan bibirnya. “Ini tempat apa ya?”
Ia melepaskan genggamannya, melangkah pelan untuk melihat sekitar. Saat ia berbalik badan, alisnya menyatu, memasang ekspresi keheranan yang paling aneh. “Gelap banget—“
“Coba lihat ke atas” ucapku
Kepalanya mengadah ke atas, lalu saat ia menyadari apa yang telah terjadi pipinya memerah, senyumnya melebar kemudian ia berteriak histeris seakan ia baru sekali melihat pemandangan yang ia lihat kali ini. Tak henti-hentinya ia memuji-Nya, tak henti-hentinya ia melompat kegirangan. “Di Jakarta nggak ada nih!”. Ia kemudian dengan semangat mengambil gambar dengan kameranya pada hamparan bintang-bintang di langit yang kebetulan pada saat itu waktu menunjukkan pukul 4 dini hari
Aku dan Nuri sudah tiga tahun bersama lamanya. Kami satu universitas namun beda jurusan. Ia mengambil jurusan sastra inggris. Nuri sangat ambisius atas apa yang dia suka, ia bertekad untuk memenuhi cita-citanya, menjadi dosen. Aku seorang kriminolog muda. Usiaku dengan Nuri terpaut hanya satu tahun lebih tua. Sudah saatnya aku menyelami pekerjaan yang layak. Aku bukan mahasiswa lagi. Pekerjaan di Jerman sangatlah menggiurkan, banyak perusahaan yang menginginkanku duduk di balik meja kantor mereka. Namun Nuri adalah alasanku untuk tetap tinggal, walau aku tahu hal ini tidak akan bertahan lama mengingat ibuku yang sudah semakin tua dan semakin rentan yang membutuhkan perawatan kesehatan, dan aku tahu biaya yang akan dikeluarkan tidak akan sedikit
“Bil?” pandanganku yang semula tak terarah kemana sekarang mataku menuju wajah Nuri yang melihatku keheranan. “Kok daritadi kamu bengong aja? Biasanya kamu yang paling semangat buat foto-foto” ledeknya. Senyum jahilnya membuatku ingin menimpalinya, membalas celaannya dengan mengungkit-ungkit kebiasaan-kebiasaan buruknya. Namun, sebelum aku mengambil ancang-ancang, ia sudah berada sangat jauh dariku untuk mendapatkan sudut yang lebih bagus. Sambil menggenggam kameranya, ia melompat setengah berlari seperti anak kelinci yang baru menemukan tempat baru yang mereka sukai. Aku tak sanggup meninggalkannya, takkan pernah sanggup
Namun aku sudah menerima pekerjaan itu..
Aku tak tahan melihat ibuku terus-menerus melemah, aku tak ingin melihatnya tersiksa seperti itu..
Dan Nuri, mau tak mau harus kutinggali..
Aku yakin ia akan baik-baik saja, toh ia adalah wanita yang kuat meski fisiknya seperti anak-anak
“Nuri, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kemarilah” aku memanggil namanya setengah berteriak. Kubentangkan kain putih di atas rerumputan hijau. Ia kemudian menghampiriku, melepas alas kakinya untuk berpijak pada kain lalu duduk menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Tanganku gemetar, kurasakan keringat dingin mengalir di punggung pelipisku. Aku belum siap untuk mengatakan hal ini

Nuri: Hari ini kamu senang nggak? Kalau aku sih senang banget, pemandangan kayak gini jarang, bahkan mungkin gak pernah ada sepanjang sejarah Jakarta, hihihihi
Nabil: Ih lebay! Jakarta dulu juga nggak kayak sekarang kali. Kalo sekarang banyak gedung dan mobil-mobil berseliweran, dulu banyak sawah dan kebo berseliweran. Kayak kamu, kebo! Hahahahahaha!
Nuri: Awas ya, Bil! Kamu lebih kebo! Jarang mandi! Bau!
Nabil: Ah pacarku jelek kalau marah, jeleeeeek sekali. Kenapa aku mau jadi pacarmu ya? Kan kamu jelek! Hahahahahahahahaha!
Nuri: Kamu kok gitu sih.. (wajahnya berubah menjadi sangat sedih, membuat rasa bersalahku menambah dinginnya kota Lembang saat itu)
Nabil: Nur, aku kan cuma bercanda.. Lagipula nggak mungkin kan aku sama kamu bisa sampe kayak gini. Kamu pake apa sih kok bisa cantik banget? Pake jampi-jampi yaa?
Nuri: Ih gombal (wajahnya kembali tersenyum, namun senyum kecut yang keluar. Nampaknya ia benar-benar menganggapku serius saat itu)
Nabil: Yaudah, Nuri jeleeek! Nuri jeleek! Nuri jelek kalo lagi marah, kayak bu Syam hiii!

Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak karena kelakuan konyol kami. Suasana mencair hingga tak terasa lagi kekakuan yang ada diantara kita

Nabil: Nur, aku mau bilang sesuatu ke kamu tapi janji kamu nggak akan marah ya
Nuri: Apa? Bilang aku jelek lagi? Bilang aku mirip kebo lagi?
Nabil: Ih enggak, sekarang serius! Tapi kamu merem dulu yaa

Nuri memejamkan matanya sementara aku meraih cincin bermata intan tunggal dari saku celanaku. Aku menarik nafas sangat dalam untuk mempersiapkan diri, sementara Nuri melukiskan senyum jahilnya tanda ia sedang menerka-nerka kalau aku akan menjahilinya lagi

Nabil: Nah, sekarang kamu boleh buka mata kamu
Nuri: Loh tadi kamu ngapain, Bil? (Nuri tampak curiga padaku dan memperhatikan sekitar bila ada yang ganjil atau tidak)
Nabil: Nuri pacarku yang cantik, sudah kutunggu malam ini, malam dimana kita merayakan hari jadi kita setelah 3 tahun lamanya. Aku tahu kau menunggu lama untuk hal ini, maka dari itu aku mempercepatnya. Biar hamparan rumput, tingginya pepohonan, lembutnya angin, serangga-serangga, binatang-binatang yang menjadi bagian dari bioma ini menjadi saksi bisu aku menjadikanmu calon istriku. Bolehkah aku memasangkan cincin ini pada jari manismu?

Nuri tercengang, matanya berkaca-kaca, tangis harunya tak terbendung lagi. Sesaat kemudian hening, lalu keheningan itu terpecah oleh tawanya

Nuri: Kamu memang tidak pandai berkata-kata, Bil! Kalau kamu ada di kelasku mungkin kamu jadi predikat anak paling sering dapet nilai merah, hahahahaha!
Nabil: Ih kamu, aku serius tau
Nuri: Baiklah pacarku yang ganteng, awalnya aku tak pernah percaya bahwa kau akhirnya                     mengambil resiko yang sangat berat ini. Aku merasa terlalu rendah, tak layak untuk mengenakan cincin yang sangat indah itu. Namun, apapun yang kau inginkan, aku akan selalu ada untukmu pangeranku. Aku bersedia menjadi calon istrimu

           Pelan-pelan aku mengenakan cincin itu pada jari manisnya. Ia tak bisa menahan tangis haru sekaligus tawa karena kelakuan anehku. Saat cincin itu mencapai ujungnya, rasa bersalahku menghantui kembali, mengingatkanku untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa aku harus pergi
           Namun, aku tak pernah berani untuk mengungkapkannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar