Dia menunggu...
Tangannya menyusut, tulang
pipinya menonjol keluar dan tulang rahangnya terlihat sangat jelas, rambutnya
berkurang menjadi sangat sedikit hingga aku dapat melihat kulit kepalanya.
Matanya terpejam, terlihat sangat cekung dan kehitaman. Kini ia hanya tulang
berbalut kulit. Aku tak mungkin meninggalkannya dengan keadaan seperti ini...
----------
Malam itu udara sangat dingin.
Lampu jalanan menyinari hanya seperempat badan jalan. Cahaya senter tak mampu
menjangkau jarak yang cukup jauh. Berulang kali aku menyipitkan mataku agar tak
menginjak binatang-binatang yang memang suka seenaknya berkeliaran. Nuri terus
saja menggenggam tanganku, menyenderkan kepalanya di pundakku. Beberapa kali
aku melihat ia memejamkan matanya. Bibirnya bergetar sehingga nampak ia sedang
berdoa. Aku hanya dapat merangkulnya yang sedang menahan dingin, saling
menghangatkan diri dari udara malam Tanah Parahyangan
“Kita sampai, kau boleh membuka
matamu”
Nuri perlahan-lahan membuka matanya, badannya kembali
berdiri tegak dan otot wajahnya tidak lagi sekaku tadi. Ia menyipitkan kembali
matanya, lalu mengerucutkan bibirnya. “Ini tempat apa ya?”
Ia melepaskan genggamannya,
melangkah pelan untuk melihat sekitar. Saat ia berbalik badan, alisnya menyatu,
memasang ekspresi keheranan yang paling aneh. “Gelap banget—“
“Coba lihat ke atas” ucapku
Kepalanya mengadah ke atas, lalu
saat ia menyadari apa yang telah terjadi pipinya memerah, senyumnya melebar
kemudian ia berteriak histeris seakan ia baru sekali melihat pemandangan yang
ia lihat kali ini. Tak henti-hentinya ia memuji-Nya, tak henti-hentinya ia
melompat kegirangan. “Di Jakarta nggak ada nih!”. Ia kemudian dengan semangat
mengambil gambar dengan kameranya pada hamparan bintang-bintang di langit yang
kebetulan pada saat itu waktu menunjukkan pukul 4 dini hari
Aku dan Nuri sudah tiga tahun
bersama lamanya. Kami satu universitas namun beda jurusan. Ia mengambil jurusan
sastra inggris. Nuri sangat ambisius atas apa yang dia suka, ia bertekad untuk
memenuhi cita-citanya, menjadi dosen. Aku seorang kriminolog muda. Usiaku
dengan Nuri terpaut hanya satu tahun lebih tua. Sudah saatnya aku menyelami
pekerjaan yang layak. Aku bukan mahasiswa lagi. Pekerjaan di Jerman sangatlah
menggiurkan, banyak perusahaan yang menginginkanku duduk di balik meja kantor
mereka. Namun Nuri adalah alasanku untuk tetap tinggal, walau aku tahu hal ini
tidak akan bertahan lama mengingat ibuku yang sudah semakin tua dan semakin
rentan yang membutuhkan perawatan kesehatan, dan aku tahu biaya yang akan
dikeluarkan tidak akan sedikit
“Bil?” pandanganku yang semula
tak terarah kemana sekarang mataku menuju wajah Nuri yang melihatku keheranan.
“Kok daritadi kamu bengong aja? Biasanya kamu yang paling semangat buat
foto-foto” ledeknya. Senyum jahilnya membuatku ingin menimpalinya, membalas
celaannya dengan mengungkit-ungkit kebiasaan-kebiasaan buruknya. Namun, sebelum
aku mengambil ancang-ancang, ia sudah berada sangat jauh dariku untuk
mendapatkan sudut yang lebih bagus. Sambil menggenggam kameranya, ia melompat
setengah berlari seperti anak kelinci yang baru menemukan tempat baru yang
mereka sukai. Aku tak sanggup meninggalkannya, takkan pernah sanggup
Namun aku sudah menerima
pekerjaan itu..
Aku tak tahan melihat ibuku
terus-menerus melemah, aku tak ingin melihatnya tersiksa seperti itu..
Dan Nuri, mau tak mau harus
kutinggali..
Aku yakin ia akan baik-baik saja,
toh ia adalah wanita yang kuat meski fisiknya seperti anak-anak
“Nuri, ada yang ingin aku
bicarakan denganmu. Kemarilah” aku memanggil namanya setengah berteriak.
Kubentangkan kain putih di atas rerumputan hijau. Ia kemudian menghampiriku,
melepas alas kakinya untuk berpijak pada kain lalu duduk menyandarkan kepalanya
di atas bahuku. Tanganku gemetar, kurasakan keringat dingin mengalir di
punggung pelipisku. Aku belum siap untuk mengatakan hal ini
Nuri: Hari ini kamu senang nggak? Kalau aku sih senang banget, pemandangan kayak gini jarang, bahkan mungkin gak pernah ada sepanjang sejarah Jakarta, hihihihi
Nabil: Ih lebay! Jakarta dulu juga nggak kayak sekarang kali.
Kalo sekarang banyak gedung dan mobil-mobil berseliweran, dulu banyak sawah dan
kebo berseliweran. Kayak kamu, kebo! Hahahahahaha!
Nuri: Awas ya, Bil! Kamu lebih kebo! Jarang mandi! Bau!
Nabil: Ah pacarku jelek kalau marah, jeleeeeek sekali.
Kenapa aku mau jadi pacarmu ya? Kan kamu jelek! Hahahahahahahahaha!
Nuri: Kamu kok gitu sih.. (wajahnya berubah menjadi sangat
sedih, membuat rasa bersalahku menambah dinginnya kota Lembang saat itu)
Nabil: Nur, aku kan cuma bercanda.. Lagipula nggak mungkin
kan aku sama kamu bisa sampe kayak gini. Kamu pake apa sih kok bisa cantik
banget? Pake jampi-jampi yaa?
Nuri: Ih gombal (wajahnya kembali tersenyum, namun senyum
kecut yang keluar. Nampaknya ia benar-benar menganggapku serius saat itu)
Nabil: Yaudah, Nuri jeleeek! Nuri jeleek! Nuri jelek kalo
lagi marah, kayak bu Syam hiii!
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak karena kelakuan konyol kami. Suasana mencair hingga tak terasa lagi kekakuan yang ada diantara kita
Nabil: Nur, aku mau bilang sesuatu ke kamu tapi janji kamu nggak akan marah ya
Nuri: Apa? Bilang aku jelek lagi? Bilang aku mirip kebo
lagi?
Nabil: Ih enggak, sekarang serius! Tapi kamu merem dulu yaa
Nuri memejamkan matanya sementara aku meraih cincin bermata intan tunggal dari saku celanaku. Aku menarik nafas sangat dalam untuk mempersiapkan diri, sementara Nuri melukiskan senyum jahilnya tanda ia sedang menerka-nerka kalau aku akan menjahilinya lagi
Nabil: Nah, sekarang kamu boleh buka mata kamu
Nuri: Loh tadi kamu ngapain, Bil? (Nuri tampak curiga padaku
dan memperhatikan sekitar bila ada yang ganjil atau tidak)
Nabil: Nuri pacarku yang cantik, sudah kutunggu malam ini,
malam dimana kita merayakan hari jadi kita setelah 3 tahun lamanya. Aku tahu
kau menunggu lama untuk hal ini, maka dari itu aku mempercepatnya. Biar
hamparan rumput, tingginya pepohonan, lembutnya angin, serangga-serangga,
binatang-binatang yang menjadi bagian dari bioma ini menjadi saksi bisu aku
menjadikanmu calon istriku. Bolehkah aku memasangkan cincin ini pada jari
manismu?
Nuri tercengang, matanya berkaca-kaca, tangis harunya tak terbendung lagi. Sesaat kemudian hening, lalu keheningan itu terpecah oleh tawanya
Nuri: Kamu memang tidak pandai berkata-kata, Bil! Kalau kamu ada di kelasku mungkin kamu jadi predikat anak paling sering dapet nilai merah, hahahahaha!
Nabil: Ih kamu, aku serius tau
Nuri: Baiklah pacarku yang ganteng, awalnya aku tak pernah
percaya bahwa kau akhirnya
mengambil resiko yang sangat berat ini. Aku merasa terlalu rendah, tak
layak untuk mengenakan cincin yang sangat indah itu. Namun, apapun yang kau
inginkan, aku akan selalu ada untukmu pangeranku. Aku bersedia menjadi calon
istrimu
Pelan-pelan aku mengenakan cincin itu pada jari manisnya. Ia tak bisa menahan tangis haru sekaligus tawa karena kelakuan anehku. Saat cincin itu mencapai ujungnya, rasa bersalahku menghantui kembali, mengingatkanku untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa aku harus pergi
Namun,
aku tak pernah berani untuk mengungkapkannya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar