Jika ditanya soal cita-cita saat umur kita enam atau tujuh tahun maka aku akan dengan mudah menjawab pertanyaan mereka. Namun cita-cita bukan hanya sekedar kalimat belaka, di umurku yang sekarang cita-cita merupakan hal yang mahal dan tidak semua orang dapat meraihnya. Masih ada realita yang harus dihadapi, dan terkadang sering menghalangiku untuk menggapainya. Kenyataan adalah mimpi namun mimpi bukanlah kenyataan
Presiden Sukarno berkata "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit", lalu bila sudah tegantung di atas sana apakah kita masih mampu untuk mendapatkannya kembali atau malah tergantung di atas selamanya?
Luka yang terlalu mendalam dapat membuat seseorang mengubah perilakunya seratus delapanpuluh derajat, pemikiran-pemikiran yang berlebihan menciptakan keraguan yang sia-sia. Ibuku bilang "Hadapilah realita yang ada" namun jika realita yang kulihat adalah tekad yang kuat akan membawa orang ke tempat yang tinggi akankah angan masih menjadi angan?
Selama ini aku hanya dapat menari di dalam kamarku sendirian. Hanya tembok dan cermin-cermin kaca yang menjadi saksi bisu kerja kerasku. Segala emosi dan ekspresi tumpah dalam ruangan ini. Tak bisa kubayangkan berapa tetes air mata yang telah membasahi lantai tempat kuperpijak. Kabut elegi dan awan mendung jadi temanku, ketika di luar sana hanya garis-garis keceriaan yang kutampakkan
Nada minor mengalun, mengalir melalui gerakan-gerakan seorang balerina. Waktu terus mengejar untuk mengakhiri semua. Jika bapak dan ibu mengizinkanku untuk menjalani apa yang kuinginkan pasti alur tak akan begini jalannya. Leherku tidak terlalu panjang untuk mendongak ke atas, mataku terlalu rabun untuk melihat ke depan, yang ada di depanku hanya tembok yang menjulang tinggi. Semakin gugenggam harapan semakin cepat mereka menghilang
Angsa memang anggun, namun ia juga rapuh
Menari dalam malam, luka dan lebam warnai tubuh. Tangis terbendung tekad, emosi terhalang senyuman, dan mimpi bukanlah angan belaka. Namun, apakah mimpi masih nyata?
-Balerina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar