12/22/2012

Cerita Kuno


Rasanya bukan saya bila tak pernah terbangun pada tengah malam
Ah, ini akibat permainan Slender yang begitu adiktif (padahal pada kenyataannya saya tak akan pernah berani untuk memainkannya lagi— bohong, saya terus saja mencicipi seri-seri game indie Slender yang baru)
Jadi... mau cerita apa ya?
Sebenarnya bukan kebetulan saya terbangun dari tidur saya. Walau pada siang harinya saya tidak tertidur namun mata ini rasanya tak inigin terpejam, selalu saja ada bayang-bayang yang menghantui saya. Saat saya menulis ini saya sedang berada di kamar, sendirian. Mmmh, sebenarnya tidak sepenuhnya sendirian sih...
Maksud saya kan ada bantal, guling, ipod saya dan earphone-nya sudah mulai ada cacat dimana-mana... (seharusnya bagian ini tidak perlu dibahas)
Kalian tahu kan Gerakan 30 September yang konon katanya menewaskan banyak jendral dan petinggi militer lainnya? Saya akan berbagi sedikit pengalaman yang katanya pernah terjadi pada keluarga saya dulu sekali sebelum saya terlahir
Kisahnya berawal dari naiknya pangkat ayah dari ayah saya yang saat itu menduduki posisi letnan (keluarga saya memang dikenal sebagai keluarga tentara yang kaku dan menjunjung tinggi kedisiplinan, hingga saat ini saya masih dapat merasakan tradisi militer yang digunakan untuk mendidik anak-anak) dan pengaplikasian ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Keluarga ayah saya menganut aliran Nasionalis, sangat berbeda dengan keluarga sepupu ayah saya yang beraliran komunis. Kedua keluarga ini sering bertengkar, setiap bertemu satu-sama lain selalu saja ada masalah yang timbul akibat perbedaan ideologi. Nampaknya, ideologi baru yang ditetapkan negara tidak berlaku pada mereka. Komunis yang dikenal kejam dan akan meraih segala sesuatu dengan cara apapun mulai menyebar dan bergerak ke seluruh pelosok Indonesia, melancarkan misi-misi mereka untuk mengkomuniskan Indonesia. Melihat keadaan ini, kakek saya mulai bergerak membangun pertahanan keluarganya, setiap anak buahnya ditugaskan untuk menjaga anak-anaknya tak terkecuali ibu dari ayah saya. Keadaan menjadi lebih mencekam saat satu per satu petinggi militer mulai meninggal secara mengenaskan, yang konon katanya dalangnya adalah para anggota-anggota partai komunis. Keluarga ayah saya tidak ambil langkah dalam hal ini, mereka hanya bisa terdiam mengurung diri dan melindungi satu sama lain dari serangan-serangan komunis. Berbagai cara nyaris menghilangkan satu per satu nyawa anggota keluarga ayah saya, mulai dari cara halus sampai cara kasar. Keadaan memuncak saat rumah ayah saya (yang dulu ayah saya masih berumur satu tahun, berada di kawasan Kebayoran Lama) didatangi oleh orang-orang tak dikenal, termasuk sepupu ayah saya yang menganut aliran komunis di dalamnya. Mereka masuk dengan kasar, mencaci dan mengeluarkan kata-kata kotor dan nama kakek saya. Keluarga ayah saya hanya bisa mengunci diri dalam sebuah ruangan (saat itu berfungsi sebagai perpustakaan) sedangkan kakek saya menghadapi orang-orang tak dikenal tersebut dengan beberapa kerabatnya. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari bawah, kemudian semua menjadi hening. Paman saya sempat menguping pembicaraan yang terdengar jelas walau mereka berada di lantai dua, kira-kira yang diceritakan kepada saya seperti ini
“Ini yang terjadi bila kalian menentang kami, Kus! Tak ada yang dapat menghentikan kami dan saudara-saudara kami, bahkan Tuhan sekalipun! Kami tak terkalahkan dan kalian hanya serangga-serangga kecil yang dengan mudah dapat kami binasakan. Menyerahlah, Kus! Cepat atau lambat pun kami akan menemukan keluargamu—dalam keadaan hidup ataupun mati”
Setelah percakapan itu selesai semua menjadi hening, bahkan isakan yang keluar dari saudara-saudari paman saya mulai mereda. Beberapa menit kemudian terdengar kembali suara tembakan dari luar, diikuti dengan erangan seorang laki-laki yang terdengar sangat lantang. Semua yang ada dalam ruangan itu terdiam dan hanya bisa menunggu kedatangan seseorang yang membawa kabar baik maupun buruk—segala sesuatu sangat menentukan nasib dari nyawa mereka
Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari luar. Pamanku yang baru berusia 13 tahun memberi isyarat untuk tetap tenang dan biarkan dia yang mengatasinya—setidaknya itu yang ia ceritakan padaku. Sembari menggenggam linggis di tangannya, ia membuka pintu dengan hati-hati. Ibunya berdiri tepat di belakangnya dengan sebuah tongkat kayu panjang yang biasa digunakan sebagai alat bantu jalan. Belum sempat mereka mengayunkan senjata masing-masing, ternyata yang berdiri di ambang pintu adalah ayah mereka, tanpa luka maupun lebam pada tubuhnya. Suara erangan yang tadi mereka dengar masih terdengar, walau volumenya kian mengecil. Rumah dipenuhi oleh laki-laki berseragam militer, lengkap dengan persenjataannya. Darah berceceran di mana-mana, menodai sebagian dari permukaan lantai satu. Meski terlambat, ibu dari ayahku mengingatkan untuk tidak menghiraukan kejadian yang telah meninmpa mereka barusan
“Untung saja kakekmu masih diberi kesempatan hidup oleh-Nya, dia memang laki-laki beruntung” ujar pamanku
“Lalu, apa yang terjadi pada orang-orang komunis itu?” tanyaku dengan antusias
“Tidak ada yang tahu. Ada yang bilang mereka semua dipenjara, ada yang bilang mereka semua sekarang mendekam dalam rumah sakit jiwa. Namun sepupuku, dia masih ada dan masih sering mengunjungi kami dengan damai. Tetap saja, mungkin akibat trauma yang melanda, kami jarang bahkan mungkin tidak pernah mempercayainya lagi. Ia mengunjungi kita hanya setahun sekali, dan itupun saat hari raya idul fitri”
Saya selalu suka dengan cerita-cerita yang keluarga saya alami saat saya belum terlahir di dunia, mereka sangat menarik minat saya dalam hal berimajinasi. Bagaimana jika saya ada diantara mereka? Bagaiman jika kakek saya ternyata mati dalam kejadian itu? Semua pemikiran itu muncul dalam benak ini yang saat itu saya masih berumur 10 tahun. Seiring berjalannya waktu, entah kenapa saya merasakan perbedaan yang kentara walau tembok pemisah di antara mereka sudah diruntuhkan. Seperti benih, seakan dendam keluarga saya sengaja ditanamkan pada saya sejak saya masih kecil. Setiap keluarga sepupu ayah saya yang beraliran komunis datang berkunjung, keluarga saya seakan tidak ingin merangkul mereka lagi walau dalam keadaan susah sekalipun. Jangankan merangkul, untuk membuka tangan mereka saja sepertinya tak pernah. Saya yang menyadarinya berusaha untuk menghapuskan perbedaan itu dengan sangat hati-hati, mungkin karena cerita yang dulu mempengaruhi saya dan sepupu saya yang lainnya. Walau partai komunis sudah tidak ada, namun sempat saya melihat bendera mereka dikibarkan di pusat kota, bahkan mereka segan dengan bangga mengibarkan bendera mereka di depan istana negara saat mengadakan konvoi besar-besaran yang mengatasnamakan rakyat kecil. Saya juga mulai mencium gerak-gerik mereka walau sangat tenang dan sulit terbaca oleh militer, dan pengaruh yang diberikan pun juga sangat besar pada negara ini
Keluarga saya tak pernah ingin mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang berkaitan dengan G30S PKI, nenek saya sangat mengagumi anak dari Jendral Nasution yang telah menjadi korban pembantaian massal, dan saya sendiri dapat melihat sikap mereka yang sangat membenci komunis. Entahlah, saya rasa saya juga membenci mereka, mungkin karena didikan keluargaku? Saya tak pernah tahu, yang jelas bila ada temanku yang mengajakku pergi ke Monumen Pancasila, saya akan menolaknya mentah-mentah dengan alasan “Tempat itu horor, aku tak ingin melihat hantu tanpa kepala atau hantu yang merengek-rengek kesakitan penuh bercak darah pada pakaiannya”
Ahahaha, saya hanya bercanda, saya mau saja pergi ke tempat itu asal ada yang mau menemani kemanapun saya pergi, hehe. Saya menyukai sejarah dan tempat-tempat bersejarah walau sering bulu kuduk ini berdiri sesaat saya berdiri di dalamnya. Saya ini penakut sekali ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar