Rasanya bukan saya bila tak pernah terbangun pada tengah
malam
Ah, ini akibat permainan Slender yang begitu adiktif
(padahal pada kenyataannya saya tak akan pernah berani untuk memainkannya lagi—
bohong, saya terus saja mencicipi seri-seri game indie Slender yang baru)
Jadi... mau cerita apa ya?
Sebenarnya bukan kebetulan saya terbangun dari tidur saya.
Walau pada siang harinya saya tidak tertidur namun mata ini rasanya tak inigin
terpejam, selalu saja ada bayang-bayang yang menghantui saya. Saat saya menulis
ini saya sedang berada di kamar, sendirian. Mmmh, sebenarnya tidak sepenuhnya
sendirian sih...
Maksud saya kan ada bantal, guling, ipod saya dan
earphone-nya sudah mulai ada cacat dimana-mana... (seharusnya bagian ini tidak
perlu dibahas)
Kalian tahu kan Gerakan 30 September yang konon katanya
menewaskan banyak jendral dan petinggi militer lainnya? Saya akan berbagi
sedikit pengalaman yang katanya pernah terjadi pada keluarga saya dulu sekali
sebelum saya terlahir
Kisahnya berawal dari naiknya pangkat ayah dari ayah saya yang
saat itu menduduki posisi letnan (keluarga saya memang dikenal sebagai keluarga
tentara yang kaku dan menjunjung tinggi kedisiplinan, hingga saat ini saya masih
dapat merasakan tradisi militer yang digunakan untuk mendidik anak-anak) dan
pengaplikasian ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Keluarga ayah
saya menganut aliran Nasionalis, sangat berbeda dengan keluarga sepupu ayah
saya yang beraliran komunis. Kedua keluarga ini sering bertengkar, setiap
bertemu satu-sama lain selalu saja ada masalah yang timbul akibat perbedaan
ideologi. Nampaknya, ideologi baru yang ditetapkan negara tidak berlaku pada
mereka. Komunis yang dikenal kejam dan akan meraih segala sesuatu dengan cara
apapun mulai menyebar dan bergerak ke seluruh pelosok Indonesia, melancarkan
misi-misi mereka untuk mengkomuniskan Indonesia. Melihat keadaan ini, kakek
saya mulai bergerak membangun pertahanan keluarganya, setiap anak buahnya
ditugaskan untuk menjaga anak-anaknya tak terkecuali ibu dari ayah saya.
Keadaan menjadi lebih mencekam saat satu per satu petinggi militer mulai
meninggal secara mengenaskan, yang konon katanya dalangnya adalah para anggota-anggota
partai komunis. Keluarga ayah saya tidak ambil langkah dalam hal ini, mereka
hanya bisa terdiam mengurung diri dan melindungi satu sama lain dari
serangan-serangan komunis. Berbagai cara nyaris menghilangkan satu per satu nyawa
anggota keluarga ayah saya, mulai dari cara halus sampai cara kasar. Keadaan
memuncak saat rumah ayah saya (yang dulu ayah saya masih berumur satu tahun,
berada di kawasan Kebayoran Lama) didatangi oleh orang-orang tak dikenal,
termasuk sepupu ayah saya yang menganut aliran komunis di dalamnya. Mereka
masuk dengan kasar, mencaci dan mengeluarkan kata-kata kotor dan nama kakek
saya. Keluarga ayah saya hanya bisa mengunci diri dalam sebuah ruangan (saat
itu berfungsi sebagai perpustakaan) sedangkan kakek saya menghadapi orang-orang
tak dikenal tersebut dengan beberapa kerabatnya. Benar saja, tak lama kemudian
terdengar suara tembakan dari bawah, kemudian semua menjadi hening. Paman saya
sempat menguping pembicaraan yang terdengar jelas walau mereka berada di lantai
dua, kira-kira yang diceritakan kepada saya seperti ini
“Ini yang terjadi bila kalian menentang kami, Kus! Tak ada
yang dapat menghentikan kami dan saudara-saudara kami, bahkan Tuhan sekalipun!
Kami tak terkalahkan dan kalian hanya serangga-serangga kecil yang dengan mudah
dapat kami binasakan. Menyerahlah, Kus! Cepat atau lambat pun kami akan
menemukan keluargamu—dalam keadaan hidup ataupun mati”
Setelah percakapan itu selesai semua menjadi hening, bahkan
isakan yang keluar dari saudara-saudari paman saya mulai mereda. Beberapa menit
kemudian terdengar kembali suara tembakan dari luar, diikuti dengan erangan
seorang laki-laki yang terdengar sangat lantang. Semua yang ada dalam ruangan
itu terdiam dan hanya bisa menunggu kedatangan seseorang yang membawa kabar
baik maupun buruk—segala sesuatu sangat menentukan nasib dari nyawa mereka
Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari luar. Pamanku
yang baru berusia 13 tahun memberi isyarat untuk tetap tenang dan biarkan dia
yang mengatasinya—setidaknya itu yang ia ceritakan padaku. Sembari menggenggam
linggis di tangannya, ia membuka pintu dengan hati-hati. Ibunya berdiri tepat
di belakangnya dengan sebuah tongkat kayu panjang yang biasa digunakan sebagai
alat bantu jalan. Belum sempat mereka mengayunkan senjata masing-masing,
ternyata yang berdiri di ambang pintu adalah ayah mereka, tanpa luka maupun
lebam pada tubuhnya. Suara erangan yang tadi mereka dengar masih terdengar,
walau volumenya kian mengecil. Rumah dipenuhi oleh laki-laki berseragam militer,
lengkap dengan persenjataannya. Darah berceceran di mana-mana, menodai sebagian
dari permukaan lantai satu. Meski terlambat, ibu dari ayahku mengingatkan untuk
tidak menghiraukan kejadian yang telah meninmpa mereka barusan
“Untung saja kakekmu masih diberi kesempatan hidup oleh-Nya,
dia memang laki-laki beruntung” ujar pamanku
“Lalu, apa yang terjadi pada orang-orang komunis itu?”
tanyaku dengan antusias
“Tidak ada yang tahu. Ada yang bilang mereka semua
dipenjara, ada yang bilang mereka semua sekarang mendekam dalam rumah sakit
jiwa. Namun sepupuku, dia masih ada dan masih sering mengunjungi kami dengan
damai. Tetap saja, mungkin akibat trauma yang melanda, kami jarang bahkan
mungkin tidak pernah mempercayainya lagi. Ia mengunjungi kita hanya setahun
sekali, dan itupun saat hari raya idul fitri”
Saya selalu suka dengan cerita-cerita yang keluarga saya
alami saat saya belum terlahir di dunia, mereka sangat menarik minat saya dalam
hal berimajinasi. Bagaimana jika saya ada diantara mereka? Bagaiman jika kakek
saya ternyata mati dalam kejadian itu? Semua pemikiran itu muncul dalam benak
ini yang saat itu saya masih berumur 10 tahun. Seiring berjalannya waktu, entah
kenapa saya merasakan perbedaan yang kentara walau tembok pemisah di antara
mereka sudah diruntuhkan. Seperti benih, seakan dendam keluarga saya sengaja
ditanamkan pada saya sejak saya masih kecil. Setiap keluarga sepupu ayah saya
yang beraliran komunis datang berkunjung, keluarga saya seakan tidak ingin
merangkul mereka lagi walau dalam keadaan susah sekalipun. Jangankan merangkul,
untuk membuka tangan mereka saja sepertinya tak pernah. Saya yang menyadarinya
berusaha untuk menghapuskan perbedaan itu dengan sangat hati-hati, mungkin
karena cerita yang dulu mempengaruhi saya dan sepupu saya yang lainnya. Walau
partai komunis sudah tidak ada, namun sempat saya melihat bendera mereka
dikibarkan di pusat kota, bahkan mereka segan dengan bangga mengibarkan bendera
mereka di depan istana negara saat mengadakan konvoi besar-besaran yang
mengatasnamakan rakyat kecil. Saya juga mulai mencium gerak-gerik mereka walau
sangat tenang dan sulit terbaca oleh militer, dan pengaruh yang diberikan pun
juga sangat besar pada negara ini
Keluarga saya tak pernah ingin mengunjungi tempat-tempat
bersejarah yang berkaitan dengan G30S PKI, nenek saya sangat mengagumi anak
dari Jendral Nasution yang telah menjadi korban pembantaian massal, dan saya
sendiri dapat melihat sikap mereka yang sangat membenci komunis. Entahlah, saya
rasa saya juga membenci mereka, mungkin karena didikan keluargaku? Saya tak
pernah tahu, yang jelas bila ada temanku yang mengajakku pergi ke Monumen
Pancasila, saya akan menolaknya mentah-mentah dengan alasan “Tempat itu horor,
aku tak ingin melihat hantu tanpa kepala atau hantu yang merengek-rengek
kesakitan penuh bercak darah pada pakaiannya”
Ahahaha, saya hanya bercanda, saya mau saja pergi ke tempat
itu asal ada yang mau menemani kemanapun saya pergi, hehe. Saya menyukai
sejarah dan tempat-tempat bersejarah walau sering bulu kuduk ini berdiri sesaat
saya berdiri di dalamnya. Saya ini penakut sekali ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar