12/31/2012

2013

Tahun baru pada kemana? Pada nonton tetangga masang petasan doang ya? HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA saya juga sih HEHE

Yaa karena memang nggak ada rencana kegiatan apapun untuk merayakan malam pergantian tahun, kali ini saya sendiri menghibur diri dengan membuat pesta kecil-kecilan dengan cara makan sebungkus keripik kentang sambil nonton tv. Memang nasib keluarga nggak pengen pergi kemana-mana dan memang tidak punya pacar jadi semuanya serba di rumah. Mungkin cerita malam tahun baru saya hampir mirip sama kalian-kalian, cuma saya ditemenin temen saya yang sebut aja Leha. Kita kenalan kira-kira 4 hari yang lalu dan kecelakaan. Entah kenapa saat saya pertama kali ketemu dia, Leha mengingatkan saya pada teman saya yang satu ini

Neng Sindy Dewi Rosmiati, 1996-sekarang

Mmh.. Sebenarnya nggak terlalu mirip sih (dan nggak pake behel) cuma kelakuan dari si Leha mengingatkan saya sama teman saya yang fotonya dipajang di atas dan karena teman saya pernah main peran di teater yang sangat menggambarkan fisik Leha

Aslinya nggak berkerudung, rambutnya dibikin cepol khas Betawi

'Kecelakaan' yang saya maksud disini adalah..
(Suasana kamar tidur dengan penerangan dari cahaya televisi)
Awalnya saya lagi main twitter, tiba-tiba di timeline saya muncul tweet seperti ini


Sebenarnya saya nggak terlalu suka sama acara tv yang ada unsur horor-nya, tapi karena ini suatu pengecualian akhirnya saya langsung beralih ke channel tv lokal yang punya program yang dimaksud. Saya tunggu kira-kira setengah jam sampai acara mulai. Ah, memang keberuntungan saya, teh Risa muncul paling awal jadi saya bisa langsung matiin tv dan tidur dengan tenang setelah dia udah nggak muncul lagi di tv. Jujur saya emang dasarnya penakut tapi karena penulis dan musisi favorit saya lagi ada di tv, saya nggak mau ketinggalan berita tentang dia. Alhasil selama nonton Risa di tv, yang ada malah merekam sedikit informasi dari tv karena berkali-kali harus tutup mata

Lagi enak-enak nonton tv, tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri. Perasaan kebelet pipis pun muncul, tapi itu bukan karena vesica urinaria saya yang nggak kuat nahan urine (baca: kencing). Hal ini akan kalian alami bila ada jurig yang lagi berseliweran di sekitar kalian

Ah, terkutuk kau program tv horor, terimakasih telah mendatangkan jurig ke rumah saya

Duduklah perempuan berumur sekitar 25 tahun di samping saya. Berani nengok ke samping? Nggak mungkin lah-_-
*kemudian dia megang tangan saya*
"F*ck....."
Oke karena sudah ketauan kalau saya tau dia ada di samping saya akhirnya dia (yang setelah itu mulai saya panggil Leha) mulai menghujani saya pertanyaan-pertanyaan nggak penting. Saya cuma pura-pura main hape sambil sesekali menanggapi ocehannya sampai akhirnya dia bosen nyerocos. Fix, nggak bisa tidur lagi malam ini..

....

Jadi intinya malam tahun baru saya ditemani Leha yang merengek minta ditemenin nonton kembang api diluar. Saya yang udah mager alias malas gerak memuntahkan alasan-alasan yang nggak masuk akal buat nggak keluar rumah, dan alasan terbodoh yang pertama keluar dari mulut saya adalah: "Saya nggak tau tempat nonton kembang api yang bagus dimana". Leha memang licik pintar, dia berjanji untuk mencarikan tempat yang bagus untuk melihat kembang api berdua. Sebenarnya sih bukan berjanji tapi.. memaksa. Walau di luar gerimis dan gelap tapi kaki ini nggak pernah berhenti buat jalan ke tempat yang Leha maksud. Maaf, kalau saya yang mengendalikan sih tentu saja saya sudah lari balik lagi ke rumah (kalian pikir sajalah sendiri cara Leha memanipulasi saya untuk jalan-jalan). Pertama saya lagi flu dan kedua orang-orang komplek mulai melototin saya yang jalan-jalan sendirian keliling komplek di tengah malam. Berasa jablay, serius

Sudah sampai di tempat yang Leha maksud (lapangan bola yang penuh orang-orang main kembang api) akhirnya saya anteng berdiri ngeliatin kembang api bareng Leha. Kalo dari jauh, kita berdua mirip anak tk, lari-larian sambil tepuk tangan kayak teletubbies. Saya sendiri sering ketawa karena tingkah Leha yang random, tingkahnya sangat mirip teman saya yang di atas.  Setelah 2013 resmi datang saya langsung ngibrit ke rumah. Kebayang nggak sih tengah malam jalan-jalan di komplek yang separuh warganya udah ninggalin tempat tinggal mereka yang otomatis bikin komplek sepi dan gelap? Kunti is in the air, kunti is everywhere~

By the way, saya nggak bisa ngebayang kalo temen saya tau tentang si Leha

Yaah itu cerita saya yang dikerjain sama si Leha. Karena efek kehujanan semalem, flu saya tambah parah. Happy New Year 2013, may happiness will always be with you! *tiup terompet*

12/22/2012

Riwayat Seorang Ibu


Untuk ibuku, dan untuk semua ibu yang ada di dunia ini. Selamat hari ibu sedunia, kalian adalah wanita terhebat yang pernah ada
...
Aku yakin kau menyembunyikan rasa sayangmu dibalik kebencian yang selalu kauperlihatkan padaku. Ketahuilah anakku, aku menyayangimu lebih dari apapun, dan aku tak membutuhkan apapun agar kau menyadarinya

Aku ingat saat aku merasakan tendangan kecil dari perutku, kau menggeliat kesana kemari dan bisa kurasakannya dengan jelas, sangat jelas. Dulu kau anak yang hiperaktif, selalu saja menyulitkanku tidur. Namun, semua itu merupakan pengalaman yang sangat berharga dan tak akan pernah tergantikan. Walau aku belum dapat melihatmu dan menggenggammu dengan tanganku, namun aku dapat melihat dan merasakan keberadaanmu lewat mata hati ini

Aku juga ingat disaat kau menghirup udara bebas dunia ini untuk pertama kalinya. Rasa sakit yang menerjang saat aku berusaha untuk mengeluarkanmu hilang akibat suara tangisanmu. Jeritanmu yang lantang membuatku lega sekaligus haru, tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan disaat aku melihatmu untuk pertama kalinya. Wajahmu mirip sekali dengan wajahku, sejak hari itu aku berjanji agar melindungimu dari segala marabahaya yang akan mendatangimu

Perkembanganmu sangat cepat, anakku. Bahkan aku sendiri tak pernah sadar bahwa kau bisa tumbuh sebesar ini. Waktu memang cepat berlalu dan aku semakin menua. Aku senang saat aku mendengar kata pertama yang keluar dari mulutmu, aku senang saat aku melihat dirimu berusaha berjalan walau berulang kali kau terjatuh, aku senang segala sesuatu tentangmu, anakku
Saat kau mengenakan seragam untuk pertama kalinya jantungku berdebar kencang, tak kuasa menahan tangis haru bahwa kau sudah menginjak bangku sekolah. Mungkin memang sudah saatnya aku melepasmu untuk belajar hal-hal yang baru, mengeksplorasi segala sesuatu tentang dunia ini

Hatiku hancur saat aku melihat luka lebam di pelipis kirimu. Kau terlihat begitu trauma setelah kejadian yang membuatku syok. Dasar anak-anak berandal, selamanya aku tak akan pernah memaafkan mereka yang telah berbuat keji padamu. Sempat aku ingin menarikmu dari sekolah, namun ayahmu meyakinkanku bahwa kau akan baik-baik saja. Aku menuruti kata-katanya, walau batinku merasa tidak enak. Benar firasatku, semakin hari kau semakin pendiam dan aku mulai mencium hal yang tidak beres di sekolahmu. Lagi-lagi mereka mengusikmu dan bertindak kasar padamu. Lega rasanya saat anak-anak berandal itu dikeluarkan dari sana, tidak ada yang akan mengganggumu lagi anakku. Kau akan selalu aman dalam pelukanku

Di usia remaja ini kau semakin sering marah, emosimu sering meledak tak terkendali. Aku tahu kau marah besar padaku. Aku selalu saja melarangmu untuk berbuat ini itu, tidak membebaskanmu untuk menjelajahi dunia ini. Dengarkanlah anakku, aku takut bila hal buruk menimpamu, aku tak ingin kehilanganmu, itu saja.Kau adalah hartaku satu-satunya, kumohon mengertilah anakku.. Aku tak pernah menyangka bila kau akan tumbuh besar sebagai seorang yang pemarah. Aku takut, sangat takut. Banyak hal di luar sana yang bisa membahayakanmu, banyak hal di luar sana yang dapat mempengaruhimu, aku hanya takut bila aku tak bisa memelukmu lagi

Suatu malam saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, aku tak melihat keberadaanmu di rumah. Aku khawatir, bahkan rasa khawatirku mungkin dapat membunuhku saat itu juga. Tanpa kabar kau pergi dan tanpa kabar pula kau pulang. Ayahmu berulang kali mencoba untuk menghubungimu, namun hasilnya nihil. Saat aku mendengar ketukan pintu dari luar aku langsung berlari, berharap bahwa yang datang adalah dirimu. Benar, kau pulang dengan keadaan lemah, lalu kau terjatuh dalam pelukanku. Apa yang terjadi? Aku tidak melihat sosok anakku yang kukenal, yang kulihat hanyalah manusia yang kacau di hadapanku. Namun tetap saja, kau adalah anakku dan aku tetap akan menyayangimu. Ayahmu terlihat sangat murka, wajahnya merah padam dan emosinya meledak hebat. Kau hanya dapat terdiam, membungkam diri dari hujan pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahmu. Aku merekam segalanya, tak sanggup berkata-kata dan berkomentar tentangmu. Tetes air mata mulai membasahi tanah, hatiku hancur, tubuh ini lemas tak dapat berbuat apa-apa. Apa yang telah terjadi, anakku?

Sekarang kau tidak lagi berseragam sekolah, yang aku lihat adalah anak manusia yang telah dewasa. Aku mulai melihat perkembanganmu akan ketertarikan lawan jenis. Berulang kali aku melihat wajahmu berseri-seri sehabis menelpon temanmu yang tak kukenal, berulang kali juga aku melihatmu menangis akibat bentakkan dari temanmu yang kudengar telah menjalin hubungan denganmu. Kuatlah anakku, cinta tak seburuk itu

Baru pertama kali kau membawa teman sepermainanmu ke rumah, mengenalkannya padaku dan ayahmu. Dari raut wajahmu aku dapat melihat kau sangat bersemangat, yakin bila ia adalah orang terpilih untuk menjadi pendamping hidupmu. Aku bahagia karena telah melihat kebahagiaan yang melanda anak semata wayangku, namun hati kecilku berteriak kencang karena takut kehilanganmu, takut bila kekasihmu membawamu pergi dan tak akan pernah mengizinkanmu bertemu dengan wanita tua yang sudah mengasuhmu puluhan tahun lamanya

Hari itu tiba, kau menikahi kekasihmu yang waktu itu kau kenalkan padaku. Rasa haru bercampur bahagia mewarnai hatiku. Maafkan aku yang hanya dapat menyumbangkan sedikit uang untuk membiayai pesta pernikahanmu. Kerja kerasmu terbayarkan sudah, kini hari yang kau nanti-nantikan datang, hari itu milikmu sayangku. Selamat menempuh hidup baru bersama kekasihmu..

Rumah terasa sepi tanpa gelak tawamu, aku dan ayahmu hanya bisa mengurus satu sama lain dan mengenang masa-masa dimana aku masih menimangmu. Rasa rindu membuat hatiku sedih, aku sangat rindu padamu, anakku. Kembalilah pulang, kembalilah pulang...

Tubuh ini semakin kecil dan semakin lemah. Tak terhitung berapa usiaku saat ini, helai demi helai rambutku memutih. Bisa kulihat wajah jelek dalam cermin saat aku berdiri di depannya karena kerutan dimana-mana. Aku memutuskan untuk berbaring, tidur dalam jangka waktu yang lama.. Lama sekali hingga mata ini tak dapat lagi terbuka. Kulihat wajahmu basah akibat air mata yang tak terbendung, melihatku yang tak lagi bernafas. Maafkan aku bila ibumu tak pernah mengasuhmu dengan baik, selamanya aku mengutuk diriku atas perbuatan-perbuatan yang telah menyakiti hatimu. Kuharap kau bahagia selamanya dengan kekasihmu, ibu akan tetap mengawasi dan menjagamu dari atas sini. Jika kau merindukanku pejamkanlah mata dan rasakan keberadaanku dengan mata hatimu, karena hanya itu yang dapat menghubungkan kita kembali, sama seperti saat dimana kau masih ada di dalam perutuku. Aku pulang, anakku. Aku harap kita dapat bertemu kembali di suatu tempat dimana kita tak akan pernah berpisah dan saling berpelukan, menjaga satu sama lain. Jangan sedih, karena aku tak suka melihatmu berlinang air mata. Lihatlah aku yang tertidur di awang ketenangan, jagalah dirimu baik-baik.. Aku mencintaimu lebih dari apapun, selamanya

Cerita Kuno


Rasanya bukan saya bila tak pernah terbangun pada tengah malam
Ah, ini akibat permainan Slender yang begitu adiktif (padahal pada kenyataannya saya tak akan pernah berani untuk memainkannya lagi— bohong, saya terus saja mencicipi seri-seri game indie Slender yang baru)
Jadi... mau cerita apa ya?
Sebenarnya bukan kebetulan saya terbangun dari tidur saya. Walau pada siang harinya saya tidak tertidur namun mata ini rasanya tak inigin terpejam, selalu saja ada bayang-bayang yang menghantui saya. Saat saya menulis ini saya sedang berada di kamar, sendirian. Mmmh, sebenarnya tidak sepenuhnya sendirian sih...
Maksud saya kan ada bantal, guling, ipod saya dan earphone-nya sudah mulai ada cacat dimana-mana... (seharusnya bagian ini tidak perlu dibahas)
Kalian tahu kan Gerakan 30 September yang konon katanya menewaskan banyak jendral dan petinggi militer lainnya? Saya akan berbagi sedikit pengalaman yang katanya pernah terjadi pada keluarga saya dulu sekali sebelum saya terlahir
Kisahnya berawal dari naiknya pangkat ayah dari ayah saya yang saat itu menduduki posisi letnan (keluarga saya memang dikenal sebagai keluarga tentara yang kaku dan menjunjung tinggi kedisiplinan, hingga saat ini saya masih dapat merasakan tradisi militer yang digunakan untuk mendidik anak-anak) dan pengaplikasian ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Keluarga ayah saya menganut aliran Nasionalis, sangat berbeda dengan keluarga sepupu ayah saya yang beraliran komunis. Kedua keluarga ini sering bertengkar, setiap bertemu satu-sama lain selalu saja ada masalah yang timbul akibat perbedaan ideologi. Nampaknya, ideologi baru yang ditetapkan negara tidak berlaku pada mereka. Komunis yang dikenal kejam dan akan meraih segala sesuatu dengan cara apapun mulai menyebar dan bergerak ke seluruh pelosok Indonesia, melancarkan misi-misi mereka untuk mengkomuniskan Indonesia. Melihat keadaan ini, kakek saya mulai bergerak membangun pertahanan keluarganya, setiap anak buahnya ditugaskan untuk menjaga anak-anaknya tak terkecuali ibu dari ayah saya. Keadaan menjadi lebih mencekam saat satu per satu petinggi militer mulai meninggal secara mengenaskan, yang konon katanya dalangnya adalah para anggota-anggota partai komunis. Keluarga ayah saya tidak ambil langkah dalam hal ini, mereka hanya bisa terdiam mengurung diri dan melindungi satu sama lain dari serangan-serangan komunis. Berbagai cara nyaris menghilangkan satu per satu nyawa anggota keluarga ayah saya, mulai dari cara halus sampai cara kasar. Keadaan memuncak saat rumah ayah saya (yang dulu ayah saya masih berumur satu tahun, berada di kawasan Kebayoran Lama) didatangi oleh orang-orang tak dikenal, termasuk sepupu ayah saya yang menganut aliran komunis di dalamnya. Mereka masuk dengan kasar, mencaci dan mengeluarkan kata-kata kotor dan nama kakek saya. Keluarga ayah saya hanya bisa mengunci diri dalam sebuah ruangan (saat itu berfungsi sebagai perpustakaan) sedangkan kakek saya menghadapi orang-orang tak dikenal tersebut dengan beberapa kerabatnya. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari bawah, kemudian semua menjadi hening. Paman saya sempat menguping pembicaraan yang terdengar jelas walau mereka berada di lantai dua, kira-kira yang diceritakan kepada saya seperti ini
“Ini yang terjadi bila kalian menentang kami, Kus! Tak ada yang dapat menghentikan kami dan saudara-saudara kami, bahkan Tuhan sekalipun! Kami tak terkalahkan dan kalian hanya serangga-serangga kecil yang dengan mudah dapat kami binasakan. Menyerahlah, Kus! Cepat atau lambat pun kami akan menemukan keluargamu—dalam keadaan hidup ataupun mati”
Setelah percakapan itu selesai semua menjadi hening, bahkan isakan yang keluar dari saudara-saudari paman saya mulai mereda. Beberapa menit kemudian terdengar kembali suara tembakan dari luar, diikuti dengan erangan seorang laki-laki yang terdengar sangat lantang. Semua yang ada dalam ruangan itu terdiam dan hanya bisa menunggu kedatangan seseorang yang membawa kabar baik maupun buruk—segala sesuatu sangat menentukan nasib dari nyawa mereka
Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari luar. Pamanku yang baru berusia 13 tahun memberi isyarat untuk tetap tenang dan biarkan dia yang mengatasinya—setidaknya itu yang ia ceritakan padaku. Sembari menggenggam linggis di tangannya, ia membuka pintu dengan hati-hati. Ibunya berdiri tepat di belakangnya dengan sebuah tongkat kayu panjang yang biasa digunakan sebagai alat bantu jalan. Belum sempat mereka mengayunkan senjata masing-masing, ternyata yang berdiri di ambang pintu adalah ayah mereka, tanpa luka maupun lebam pada tubuhnya. Suara erangan yang tadi mereka dengar masih terdengar, walau volumenya kian mengecil. Rumah dipenuhi oleh laki-laki berseragam militer, lengkap dengan persenjataannya. Darah berceceran di mana-mana, menodai sebagian dari permukaan lantai satu. Meski terlambat, ibu dari ayahku mengingatkan untuk tidak menghiraukan kejadian yang telah meninmpa mereka barusan
“Untung saja kakekmu masih diberi kesempatan hidup oleh-Nya, dia memang laki-laki beruntung” ujar pamanku
“Lalu, apa yang terjadi pada orang-orang komunis itu?” tanyaku dengan antusias
“Tidak ada yang tahu. Ada yang bilang mereka semua dipenjara, ada yang bilang mereka semua sekarang mendekam dalam rumah sakit jiwa. Namun sepupuku, dia masih ada dan masih sering mengunjungi kami dengan damai. Tetap saja, mungkin akibat trauma yang melanda, kami jarang bahkan mungkin tidak pernah mempercayainya lagi. Ia mengunjungi kita hanya setahun sekali, dan itupun saat hari raya idul fitri”
Saya selalu suka dengan cerita-cerita yang keluarga saya alami saat saya belum terlahir di dunia, mereka sangat menarik minat saya dalam hal berimajinasi. Bagaimana jika saya ada diantara mereka? Bagaiman jika kakek saya ternyata mati dalam kejadian itu? Semua pemikiran itu muncul dalam benak ini yang saat itu saya masih berumur 10 tahun. Seiring berjalannya waktu, entah kenapa saya merasakan perbedaan yang kentara walau tembok pemisah di antara mereka sudah diruntuhkan. Seperti benih, seakan dendam keluarga saya sengaja ditanamkan pada saya sejak saya masih kecil. Setiap keluarga sepupu ayah saya yang beraliran komunis datang berkunjung, keluarga saya seakan tidak ingin merangkul mereka lagi walau dalam keadaan susah sekalipun. Jangankan merangkul, untuk membuka tangan mereka saja sepertinya tak pernah. Saya yang menyadarinya berusaha untuk menghapuskan perbedaan itu dengan sangat hati-hati, mungkin karena cerita yang dulu mempengaruhi saya dan sepupu saya yang lainnya. Walau partai komunis sudah tidak ada, namun sempat saya melihat bendera mereka dikibarkan di pusat kota, bahkan mereka segan dengan bangga mengibarkan bendera mereka di depan istana negara saat mengadakan konvoi besar-besaran yang mengatasnamakan rakyat kecil. Saya juga mulai mencium gerak-gerik mereka walau sangat tenang dan sulit terbaca oleh militer, dan pengaruh yang diberikan pun juga sangat besar pada negara ini
Keluarga saya tak pernah ingin mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang berkaitan dengan G30S PKI, nenek saya sangat mengagumi anak dari Jendral Nasution yang telah menjadi korban pembantaian massal, dan saya sendiri dapat melihat sikap mereka yang sangat membenci komunis. Entahlah, saya rasa saya juga membenci mereka, mungkin karena didikan keluargaku? Saya tak pernah tahu, yang jelas bila ada temanku yang mengajakku pergi ke Monumen Pancasila, saya akan menolaknya mentah-mentah dengan alasan “Tempat itu horor, aku tak ingin melihat hantu tanpa kepala atau hantu yang merengek-rengek kesakitan penuh bercak darah pada pakaiannya”
Ahahaha, saya hanya bercanda, saya mau saja pergi ke tempat itu asal ada yang mau menemani kemanapun saya pergi, hehe. Saya menyukai sejarah dan tempat-tempat bersejarah walau sering bulu kuduk ini berdiri sesaat saya berdiri di dalamnya. Saya ini penakut sekali ya?

12/18/2012

Angsa Rapuh

Jika ditanya soal cita-cita saat umur kita enam atau tujuh tahun maka aku akan dengan mudah menjawab pertanyaan mereka. Namun cita-cita bukan hanya sekedar kalimat belaka, di umurku yang sekarang cita-cita merupakan hal yang mahal dan tidak semua orang dapat meraihnya. Masih ada realita yang harus dihadapi, dan terkadang sering menghalangiku untuk menggapainya. Kenyataan adalah mimpi namun mimpi bukanlah kenyataan

Presiden Sukarno berkata "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit", lalu bila sudah tegantung di atas sana apakah kita masih mampu untuk mendapatkannya kembali atau malah tergantung di atas selamanya?

Luka yang terlalu mendalam dapat membuat seseorang mengubah perilakunya seratus delapanpuluh derajat, pemikiran-pemikiran yang berlebihan menciptakan keraguan yang sia-sia. Ibuku bilang "Hadapilah realita yang ada" namun jika realita yang kulihat adalah tekad yang kuat akan membawa orang ke tempat yang tinggi akankah angan masih menjadi angan?

Selama ini aku hanya dapat menari di dalam kamarku sendirian. Hanya tembok dan cermin-cermin kaca yang menjadi saksi bisu kerja kerasku. Segala emosi dan ekspresi tumpah dalam ruangan ini. Tak bisa kubayangkan berapa tetes air mata yang telah membasahi lantai tempat kuperpijak. Kabut elegi dan awan mendung jadi temanku, ketika di luar sana hanya garis-garis keceriaan yang kutampakkan

Nada minor mengalun, mengalir melalui gerakan-gerakan seorang balerina. Waktu terus mengejar untuk mengakhiri semua. Jika bapak dan ibu mengizinkanku untuk menjalani apa yang kuinginkan pasti alur tak akan begini jalannya. Leherku tidak terlalu panjang untuk mendongak ke atas, mataku terlalu rabun untuk melihat ke depan, yang ada di depanku hanya tembok yang menjulang tinggi. Semakin gugenggam harapan semakin cepat mereka menghilang

Angsa memang anggun, namun ia juga rapuh

Menari dalam malam, luka dan lebam warnai tubuh. Tangis terbendung tekad, emosi terhalang senyuman, dan mimpi bukanlah angan belaka. Namun, apakah mimpi masih nyata?

-Balerina

12/16/2012

Hujan Jangan Marah

Ini cuma sekedar wacana sih, sekedar wacana

Saya suka bingung sama orang-orang di sekitar saya. Kadang mereka begitu menginginkan kematian yang katanya damai dan terhindar dari segala masalah. Padahal, kalau saya baca di Al Quran setelah meninggal malah masih harus berurusan dengan-Nya? Justru menurut saya itu masalah, toh kan kita nggak pernah tahu dosa dan pahala kita seberapa, kalau dosa kita lebih banyak gimana? Saya sih paling takut berurusan sama Yang Di Atas

Di sekolah juga saya dicap sebagai manusia terbijak, padahal muka kayak gini dimana bijaknya? Ah yasudahlah saya gak mau basa-basi, langsung saja pada pokok pembahasan
                                                 ---------------------------
       Rintik hujan menggenangi lapangan, gemuruh petir menggema dalam telinga. Aku hampir tidak bisa tidur saat itu, padahal mataku sudah setengah tertutup. Kantuk yang menjeratku begitu menyiksa, terlebih didukung oleh udara dingin dari luar dan kelas yang membosankan. Kala itu jam pelajaran matematika
       Perlahan-lahan kelopak mataku turun dan menutup mata ini, membuatku melayang dalam dunia mimpi. Mimpi yang kualami sangat aneh, mengingat banyak pecahan kaca dimana-mana dimana-mana dan kobaran api yang ganas membakar habis segalanya. Seorang wanita terkulai lemah di lantai.  Rambutnya terurai panjang, wajahnya begitu cantik, ia nampak sedang kebingungan dengan mata yang setengah terbuka. Namun, setelah diperhatikan ada yang salah dengannya. Dari pelipisnya mengalir darah, menodai lengan kausnya yang panjang, lebam dimana-mana. Kemudian alur berubah menjadi mundur, wanita itu kini tidak mengucurkan darah dan bersih dari lebam. Terlihat ia sedang berjalan dengan anak kecil. Wajahnya sangat familiar dengan ingatanku. Mereka terlihat bahagia berdua, namun tiba-tiba segala sesuatu berubah. Sekumpulan laki-laki masuk dalam bangunan itu membawa senjata-senjata tajam. Salah satunya membawa alat peledak kemudian melempari seluruh sudut bangunan dengannya. Semua orang berteriak lalu kemudian wanita dan anak kecil itu terpisah satu sama lain. Rupanya, wanita itu adalah ibu dari anak kecil tersebut. Ia memanggil-manggil nama ibunya namun semua terlambat, api menghanguskan semuanya termasuk anak kecil itu
       Terdengar suara-suara yang memanggil namaku, aku kemudian terbangun dan dikejutkan oleh wajah angkuh guruku yang sedang berdiri persis di sampingku. Sambil bersungut-sungut aku kembali bangun dari tidurku dan berusaha untuk konsentrasi dalam pelajaran. Di satu sisi aku kesal karena guruku yang membangunkan tidurku (walau aku tahu aku salah namun mebangunkanku dari tidur adalah hal yang tidak bisa ditolerir) namun di satu sisi aku lega karena akhrinya mimpi aneh itu berakhir. Aku memutar otak mengapa aku samapai bisa bermimpi seperti itu, mungkin hanya halusinasiku? Entahlah, yang jelas aku mengenal wajah anak kecil itu

12/15/2012

Noda Dalam Kanvas (Part 2)


       Aku pergi ke Jerman tanpa pamit pada Nuri, membawa ibuku dan adik perempuanku kesana, mencoba peruntungan untuk mencari nafkah di negri orang
       Sesaat aku hendak melangkah untuk mengejar pesawat yang akan kami tumpangi, suara langkah kaki yang kukenal terdengar dari belakang. “Nabil..”
       Suara yang sangat kukenal terdengar sangat parau. Aku menoleh ke belakang, berat rasanya kepala ini saat aku melakukannya. Ia menatapku dengan tatapan penuh kecewa. Air matanya mengalir deras, tubuhnya berdiri lemas seperti tak dapat menahan beban namun ia tetap berkutat untuk menemuiku


Nabil: Nuri maafkan aku—“
Nuri: Tak perlu Nabil, aku tahu segalanya dari Diah. Dia menceritakanku segalanya. Pergilah jika itu memang kewajibanmu, tapi berjanjilah untuk kembali..
Nabil: Nuri maafkan aku, aku tahu aku egois sekali, aku berjanji aku akan kembali untukmu. Bersabarlah, Nuri dan tunggulah aku..
Nuri: Jangan terlalu lama, Bil.. Aku sayang kamu..
     
       Kami berpelukan sangat lama hingga berkali-kali adikku mengingatkanku bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat. Lengan bajuku basah akibat tangisan Nuri dan aku tak pernah merasa bersalah seperti ini. Aku mengecup kening Nuri tanda perpisahan, lama sekali
       “Jangan coba-coba untuk menjadi menyebalkan di sana, nanti kamu nggak punya temen, Bil hahahahaha”. Ia tertawa kaku, senyumnya terpaksa untuk membuatku ikhlas akan perpisahan ini
       “Enak saja, harusnya aku yang bilang kayak gitu ke kamu!”
       Kami berdua tertawa lalu berpisah. Ia tersenyum tipis padaku di saat terakhir aku melihatnya pada hari itu
--------------------------
      Hampir delapan tahun lamanya aku di Jerman, dan aku pulang ke tanah air setelah perpisahanku dengan Nuri waktu itu. Aku malu pulang dengan anak yang kutimang beserta istri yang kurangkul sekarang. Tak sedikitpun wajah Nuri terbayang saat aku di Jerman, dan kini aku merasa sangat bersalah, seperti segala macam beban di dunia ini bertumpu pada pundakku. Namun istriku kemudian mengetahui tentang hal ini memaksaku untuk berterus terang kepada Nuri dan berkunjung ke rumahnya. Istriku seorang wanita Jawa yang berkuliah di sana setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sebagai wanita sudah pasti ia tahu betul bagaimana perasaannya bila ia berada di posisi Nuri sekarang. Sepanjang perjalanan aku terus memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat kenangan kami berdua semasa berpacaran dulu
-------------------------
      Kulangkahkan kakiku dengan berat memasuki pekarangan rumah Nuri. Rumahnya tampak sepi seperti tak berpenghuni. Tak lagi berjejeran tanaman-tanaman yang ibunya pelihara, hanya ada belukar yang tak tertata dan tumbuh dengan liar. Saat kuketukkan pintu rumahnya leherku seperti terganjal sesuatu, seperti ada sesuatu yang menggumpal dalam tenggorokanku. Aku berharap Nuri lah yang akan membukakan pintu itu untukku, namun ibunya yang keluar. Aku menyapa ramah padanya, lalu kami berpelukan. Saat aku bertanya bagaimana keadaan Nuri ia hanya membisu, tertunduk lemas dan memandang lantai rumah dengan tatapan kosong. Ia menunjuk kamar Nuri lalu memberi isyarat kalau aku boleh masuk melihat keadaannya. Ia kemudian pergi ke belakang dan aku masuk menuju kamarnya
     Aku tidak siap untuk melihat reaksi Nuri..
     Aku terlalu takut, sangat amat takut..
     Kugenggam kenop pintu dengan erat lalu membuka pintu dengan perlahan. Aroma khas rumah sakit tercium menusuk hidungku, bau obat-obatan membuat kepalaku pusing. Aku menyipitkan mata untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi kepada Nuri dan saat itu juga...
---------------------
Jakarta, 12 Juli 2010
Nuri, jika kau sudah membaca surat ini aku akan merasa sangat bahagia. Terakhir kali aku mendatangimu kulihat kau sedang tidur maka dari itu aku tak ingin mengganggumu jadi kuputuskan untuk pulang. Ya, aku kembali
Kumohon jangan marah selepas membaca surat ini, tunggu aku menjelaskan segalanya, oke? Ingat, rupamu jelek saat kau marah Nuri!
Kau tahu tidak? Mungkin jika kau ikut denganku kau akan menyukai tempat yang kutinggali. Berlin memang sepadat Jakarta namun udaranya bersih sekali. Orang-orang di sana juga ramah, aku yakin kau akan menyukai Nyonya Margot. Dia tetanggaku, dia senang membuatkan kue untukku. Kue buatannya enak sekali
Di Jerman juga aku menemukan perempuan yang sangat cantik dan anggun, yang sampai sekarang menemaniku suka maupun duka. Karena dia hariku lebih berwarna, karena dia tak pernah sekalipun aku merasa kesepian, ditambah lagi malaikat kecil yang datang dalam kehidupan kami berdua
Ia mirip sekali denganmu Nuri, kalian memiliki banyak persamaan. Rasanya, rinduku padamu terisi olehnya. Namanya Tari, Lestari lebih tepatnya
Tolong jangan kau marah dulu Nuri...
Nuri aku tahu aku salah, aku tahu aku tidak menunggumu, namun aku kembali Nuri, aku kembali. Saat aku melihat keadaanmu terbujur lemas di atas ranjang hatiku hancur. Kau tetap menungguku walau dalam kondisi kritis sekalipun. Aku tak tega mendengar cerita ibumu yang setiap hari mengharapkanmu membuka mata hanya untuk sekali saja. Ia sangat mengharapkan tawamu kembali, sama halnya sepertiku. Aku rindu padamu Nuri, sungguh
Nuri, kenapa kamu harus sakit? Semoga kamu benar-benar sudah pulih kembali saat surat ini kau baca
Jangan tanyakan soal keadaan ibuku, ia sudah sehat bugar. Bahkan untuk koprol saja sepertinya ia mampu kok! Hahahahahaha
Maaf aku hanya bisa menitipkan surat pada ibumu, aku sangat sibuk sekali. Aku harus mengurus pekerjaanku yang tertunda, sekarang aku tulang punggung bagi keluarga ibuku maupun keluarga kecilku. Nabil sayang Nuri, muah! Hahahahaha!
------------------------
       Aku tak pernah mendengar kabar tentang Nuri lagi setelah dua tahun lamanya. Kuputuskan untuk berkunjung ke rumahnya kembali namun tak ada siapa-siapa. Rumah itu kosong tak berpenghuni. Nuri, kemana dirimu? Aku tahu aku telah tidak bertanggung jawab, aku tahu aku sudah menginkari janjiku untuk meminangmu. Aku merindukan celotehan-celotehanmu, aku merindukan gelak tawamu. Kumohon jangan pergi dulu Nuri, aku ingin bertemu denganmu, dimanapun kau berada....

Noda Dalam Kanvas (Part 1)


Dia menunggu...

Tangannya menyusut, tulang pipinya menonjol keluar dan tulang rahangnya terlihat sangat jelas, rambutnya berkurang menjadi sangat sedikit hingga aku dapat melihat kulit kepalanya. Matanya terpejam, terlihat sangat cekung dan kehitaman. Kini ia hanya tulang berbalut kulit. Aku tak mungkin meninggalkannya dengan keadaan seperti ini...
----------
Malam itu udara sangat dingin. Lampu jalanan menyinari hanya seperempat badan jalan. Cahaya senter tak mampu menjangkau jarak yang cukup jauh. Berulang kali aku menyipitkan mataku agar tak menginjak binatang-binatang yang memang suka seenaknya berkeliaran. Nuri terus saja menggenggam tanganku, menyenderkan kepalanya di pundakku. Beberapa kali aku melihat ia memejamkan matanya. Bibirnya bergetar sehingga nampak ia sedang berdoa. Aku hanya dapat merangkulnya yang sedang menahan dingin, saling menghangatkan diri dari udara malam Tanah Parahyangan
“Kita sampai, kau boleh membuka matamu”
Nuri perlahan-lahan membuka matanya, badannya kembali berdiri tegak dan otot wajahnya tidak lagi sekaku tadi. Ia menyipitkan kembali matanya, lalu mengerucutkan bibirnya. “Ini tempat apa ya?”
Ia melepaskan genggamannya, melangkah pelan untuk melihat sekitar. Saat ia berbalik badan, alisnya menyatu, memasang ekspresi keheranan yang paling aneh. “Gelap banget—“
“Coba lihat ke atas” ucapku
Kepalanya mengadah ke atas, lalu saat ia menyadari apa yang telah terjadi pipinya memerah, senyumnya melebar kemudian ia berteriak histeris seakan ia baru sekali melihat pemandangan yang ia lihat kali ini. Tak henti-hentinya ia memuji-Nya, tak henti-hentinya ia melompat kegirangan. “Di Jakarta nggak ada nih!”. Ia kemudian dengan semangat mengambil gambar dengan kameranya pada hamparan bintang-bintang di langit yang kebetulan pada saat itu waktu menunjukkan pukul 4 dini hari
Aku dan Nuri sudah tiga tahun bersama lamanya. Kami satu universitas namun beda jurusan. Ia mengambil jurusan sastra inggris. Nuri sangat ambisius atas apa yang dia suka, ia bertekad untuk memenuhi cita-citanya, menjadi dosen. Aku seorang kriminolog muda. Usiaku dengan Nuri terpaut hanya satu tahun lebih tua. Sudah saatnya aku menyelami pekerjaan yang layak. Aku bukan mahasiswa lagi. Pekerjaan di Jerman sangatlah menggiurkan, banyak perusahaan yang menginginkanku duduk di balik meja kantor mereka. Namun Nuri adalah alasanku untuk tetap tinggal, walau aku tahu hal ini tidak akan bertahan lama mengingat ibuku yang sudah semakin tua dan semakin rentan yang membutuhkan perawatan kesehatan, dan aku tahu biaya yang akan dikeluarkan tidak akan sedikit
“Bil?” pandanganku yang semula tak terarah kemana sekarang mataku menuju wajah Nuri yang melihatku keheranan. “Kok daritadi kamu bengong aja? Biasanya kamu yang paling semangat buat foto-foto” ledeknya. Senyum jahilnya membuatku ingin menimpalinya, membalas celaannya dengan mengungkit-ungkit kebiasaan-kebiasaan buruknya. Namun, sebelum aku mengambil ancang-ancang, ia sudah berada sangat jauh dariku untuk mendapatkan sudut yang lebih bagus. Sambil menggenggam kameranya, ia melompat setengah berlari seperti anak kelinci yang baru menemukan tempat baru yang mereka sukai. Aku tak sanggup meninggalkannya, takkan pernah sanggup
Namun aku sudah menerima pekerjaan itu..
Aku tak tahan melihat ibuku terus-menerus melemah, aku tak ingin melihatnya tersiksa seperti itu..
Dan Nuri, mau tak mau harus kutinggali..
Aku yakin ia akan baik-baik saja, toh ia adalah wanita yang kuat meski fisiknya seperti anak-anak
“Nuri, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kemarilah” aku memanggil namanya setengah berteriak. Kubentangkan kain putih di atas rerumputan hijau. Ia kemudian menghampiriku, melepas alas kakinya untuk berpijak pada kain lalu duduk menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Tanganku gemetar, kurasakan keringat dingin mengalir di punggung pelipisku. Aku belum siap untuk mengatakan hal ini

Nuri: Hari ini kamu senang nggak? Kalau aku sih senang banget, pemandangan kayak gini jarang, bahkan mungkin gak pernah ada sepanjang sejarah Jakarta, hihihihi
Nabil: Ih lebay! Jakarta dulu juga nggak kayak sekarang kali. Kalo sekarang banyak gedung dan mobil-mobil berseliweran, dulu banyak sawah dan kebo berseliweran. Kayak kamu, kebo! Hahahahahaha!
Nuri: Awas ya, Bil! Kamu lebih kebo! Jarang mandi! Bau!
Nabil: Ah pacarku jelek kalau marah, jeleeeeek sekali. Kenapa aku mau jadi pacarmu ya? Kan kamu jelek! Hahahahahahahahaha!
Nuri: Kamu kok gitu sih.. (wajahnya berubah menjadi sangat sedih, membuat rasa bersalahku menambah dinginnya kota Lembang saat itu)
Nabil: Nur, aku kan cuma bercanda.. Lagipula nggak mungkin kan aku sama kamu bisa sampe kayak gini. Kamu pake apa sih kok bisa cantik banget? Pake jampi-jampi yaa?
Nuri: Ih gombal (wajahnya kembali tersenyum, namun senyum kecut yang keluar. Nampaknya ia benar-benar menganggapku serius saat itu)
Nabil: Yaudah, Nuri jeleeek! Nuri jeleek! Nuri jelek kalo lagi marah, kayak bu Syam hiii!

Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak karena kelakuan konyol kami. Suasana mencair hingga tak terasa lagi kekakuan yang ada diantara kita

Nabil: Nur, aku mau bilang sesuatu ke kamu tapi janji kamu nggak akan marah ya
Nuri: Apa? Bilang aku jelek lagi? Bilang aku mirip kebo lagi?
Nabil: Ih enggak, sekarang serius! Tapi kamu merem dulu yaa

Nuri memejamkan matanya sementara aku meraih cincin bermata intan tunggal dari saku celanaku. Aku menarik nafas sangat dalam untuk mempersiapkan diri, sementara Nuri melukiskan senyum jahilnya tanda ia sedang menerka-nerka kalau aku akan menjahilinya lagi

Nabil: Nah, sekarang kamu boleh buka mata kamu
Nuri: Loh tadi kamu ngapain, Bil? (Nuri tampak curiga padaku dan memperhatikan sekitar bila ada yang ganjil atau tidak)
Nabil: Nuri pacarku yang cantik, sudah kutunggu malam ini, malam dimana kita merayakan hari jadi kita setelah 3 tahun lamanya. Aku tahu kau menunggu lama untuk hal ini, maka dari itu aku mempercepatnya. Biar hamparan rumput, tingginya pepohonan, lembutnya angin, serangga-serangga, binatang-binatang yang menjadi bagian dari bioma ini menjadi saksi bisu aku menjadikanmu calon istriku. Bolehkah aku memasangkan cincin ini pada jari manismu?

Nuri tercengang, matanya berkaca-kaca, tangis harunya tak terbendung lagi. Sesaat kemudian hening, lalu keheningan itu terpecah oleh tawanya

Nuri: Kamu memang tidak pandai berkata-kata, Bil! Kalau kamu ada di kelasku mungkin kamu jadi predikat anak paling sering dapet nilai merah, hahahahaha!
Nabil: Ih kamu, aku serius tau
Nuri: Baiklah pacarku yang ganteng, awalnya aku tak pernah percaya bahwa kau akhirnya                     mengambil resiko yang sangat berat ini. Aku merasa terlalu rendah, tak layak untuk mengenakan cincin yang sangat indah itu. Namun, apapun yang kau inginkan, aku akan selalu ada untukmu pangeranku. Aku bersedia menjadi calon istrimu

           Pelan-pelan aku mengenakan cincin itu pada jari manisnya. Ia tak bisa menahan tangis haru sekaligus tawa karena kelakuan anehku. Saat cincin itu mencapai ujungnya, rasa bersalahku menghantui kembali, mengingatkanku untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa aku harus pergi
           Namun, aku tak pernah berani untuk mengungkapkannya..

12/07/2012

Intermezzo

Sering kali pertanyaan-pertanyaan muncul, "Dari mana kau mendapatkan semua cerita itu?". Kalian boleh menganggap semua cerita itu nyata ataupun hanya bualan belaka, aku tidak peduli. Tujuanku menulis hanyalah untuk menghibur dan memberi sedikit ulasan cerita yang mungkin akan menjadi pembelajaran kalian, menjadi cerminan kalian. Tak perlu kau ketahui darimana aku mendapatkan semua cerita itu, semua cerita telah mendapat persetujuan dari pihak yang terkait
Jika kalian bertanya bagaimana aku mendapatkan cerita-cerita semua itu tentu saja dengan bersosialisasi. Pernyataan-pernyataan yang muncul dari benak kalian kalau aku mengetahuinya begitu saja, atau semua itu hanya imajinasiku saja, kutegaskan kalian salah. Sudah kubilang, semakin kau mengenalku semakin kau dibuatnya penasaran. Aku hanya remaja biasa yang sering pusing akibat tugas yang menumpuk, hehe. Seperti yang lainnya, aku mengalami banyak perubahan dibandingkan saat masa-masa di mana aku masih mengenakan rok merah ataupun rok biru. Aku menjadi lebih pemarah, suka menangis karena hal-hal sepele. Ya, aku memang anak yang bisa digolongkan sangat emosional. Tetapi jangan kaget jika aku berubah menjadi sedingin es. Kalian akan mengetahui sebabnya suatu saat
Aku tidak seperti yang kalian bayangkan. Mungkin firasat kalian bisa jadi benar dan belum tentu benar. Ingat, terkadang perasaan sering disalah artikan sebagai pemikiran, begitu pula sebaliknya. Tentang kehidupanku? Aku tidak terlalu suka dengan keramaian, namun selalu aku yang dituduh kalau aku yang membuat kegaduhan oleh teman-temanku. Dimanapun aku berada, dalam kerumunan apapun, mereka selalu menyalahkanku atas apa yang kuperbuat. Aku sadar aku memang suka jahil, habisnya aku senang melihat raut wajah teman-temanku yang jengkel ataupun tertawa malu sehabis aku jahili. Aku juga senang menggambar dan bermain musik, bagiku seni dapat berbicara. Setiap petikan gitar ataupun goresan kuas di atas kanvas membisikkan makna-makna tersendiri di telingaku. Belakangan ini aku senang dengan kegiatan menulis. Bagiku, jika seseorang dapat membuat karya yang begitu hebat, kenapa aku tidak? Namun tentu saja semua berfondasikan atas minatku dalam bidang seni. Aku adalah perempuan Libra, bisa kau bayangkan sendiri bagaimana sifat Libra bukan? Hihihi :)
Tentu saja masih banyak cacat dari cerita demi cerita yang aku cetak per-halamannya. Aku ingin dan aku akan terus belajar dari kesalahanku. Terimakasih kepada kalian yang telah membaca blog ini, semoga bermanfaat bagi hidup maupun........ Tugas bahasa Indonesia! :D

-Penulis

Surat Untuk Astrid

       Hampir 17 tahun lamanya kita menjalin hubungan kasih, merajut benang cerita dalam rumah sederhana pemberian ibuku. Hari ini, adalah hari dimana anak sulung kita bertambah umurnya. Ingin rasanya kuluapkan segala emosi yang ada di jiwaku padamu, namun aku tersadar aku tak punya keberanian seperti yang kau punya. Aku ingat betul saat ia hadir dalam kehidupan kita, tepat 15 tahun yang lalu. Sekarang ia semakin dewasa, banyak perubahan yang ia alami, dan ia semakin mirip denganmu. Aku sadar ia bukan lagi bayi mungil yang dulu sering kutimang, namun aku senang menganggapnya seperti itu dan hal itu sering membuatnya jengkel. Aku punya firasat bahwa ia membenciku. Bagiku, hal itu bukanlah sebuah masalahselagi aku masih bisa menatap wajahnya. Aku sadar bahwa sebagai pria dewasa, aku telah gagal untuk menjadi ayah yang baik dan membuatnya semakin membenciku. Mungkin batas kesabarannya telah rusak akibat pertengkaran yang kita buat hampir setiap hari. Aku yakin ia mengerti dan memahaminya, dan aku tahu ia membenci teriakan dan tangisan. Belakangan ini aku sering melihat ia mengasuh anak bungsu kita, dan kembali lagi ia mengingatkanku padamu
       Tak ada niat sedikitpun untuk mengingkari janji yang kita sebut di depan Tuhan. Aku mencintaimu lebih dari yang kau kira, dan aku terlalu penakut untuk menegaskannya. Mungkin detik ini kau sudah mendapatkan pria yang jauh lebih tampan dan berani daripada aku. Aku terus merahasiakan hal yang telah terjadi diantara kita, yang membuat semua menjadi lebih gelap dan suram, namun anak-anak kita tidak sebodoh itu. Diam-diam mereka mulai curiga dan satu-persatu pertanyaan bermunculan dari mulut mereka yang seharusnya tidak mereka tanyakan. Sempat aku pernah membaca buku harian putri kita. Ia tahu segalanya, dan semua itu tertulis dengan tinta merah. Terdapat bekas tetesan air mata di beberapa tempat, bahkan kertasnya nyaris sobek karena ia menekankan pulpennya terlalu keras. Hatiku hancur, betapa ia membenci perlakuanku yang tidak pernah menanyakan keadaannya di sekolah, bagaimana hubungannya dengan sosialnya, dan hal-hal yang seharusnya seorang ayah tanyakan. Ingin ku berlari memeluknya dan meminta maaf atas segala hal yang telah kusesali, dan sekali lagi aku tak pernah berani untuk mengeluarkan emosiku secara terang-terangan. Belum sempat aku pulih dari luka dalam, ia tak ingin bicara denganku hingga tiga hari lamanya. Ia sadar bahwa buku hariannya telah dibaca. Seakan-akan ia telah membaca pikiranku, seakan-akan ia memasang mata di setiap dinding rumah ini, seakan-akan ia mengikutiku kemanapun aku pergi, ia selalu mengetahui apa yang kurahasiakan dan aku semakin takut karena ruangan yang kumiliki semakin sempit. Aku tahu ia menghargai privasi seseorang tetapi selalu saja ada 1000 rasa cemas dan khawatir di pikiranku. Aku tak ingin ia menjadi stress akibat beban yang ia terima
       Astrid, aku tidak ingin memutus tali hubungan kita. Aku tahu kau membenciku namun untuk kali ini saja, biarkan anak kita merasakan kembali hangatnya suasana keluarga kecil kita. Mungkin tidak akan sempurna, tetapi aku ingin melihat kembali senyuman anak-anak kita yang sudah lama tidak mereka tampakkan. Yang aku inginkan hanyalah kesungguhanmu dalam membahagiakan mereka di hari ulang tahun putri sulungmu
       Perlu kau ketahui, semenjak kepergianmu ia lebih sering menangis, menerjang dan menggeliat seperti orang kerasukan. Ia lebih sering begadang dan menorehkan emosinya pada buku gambar yang pernah kau berikan beberapa waktu lalu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sempat pada suatu malam ia berteriak memberontak dan memanggil nama-nama yang tak kukenal. Tentu saja itu bukanlah dia, anak yang kukenal pendiam dan pandai menyembunyikan emosinya. Seisi rumah bergidik ketakutan. Ia membutuhkan sosok ibu lebih daripada Yati, pembantu kita yang kurasa tak cukup dapat menggantikan peranmu seutuhnya. Astrid, jadilah ibu yang mau meluangkan waktu untuk anak-anak kita setiap saat kembali. Mereka butuh rangkulan dan pelukanmu. Demi anak-anak kita, bukan hubungan kita yang sudah kusut dan sulit diluruskan kembali. Aku harap kau mengerti apa yang aku tuliskan dan ucapkan


Salam sayang

Hudi

12/06/2012

K

Perempuan mana yang tidak ingin terlihat sempurna? Bahkan mungkin tidak hanya kaum hawa saja yang ingin menjadi sempurna, kaum adam pun ikut berlomba-lomba menuju suatu puncak dimana mata memandang kagum dari ujung helai rambut hingga ujung jari kaki. Memang butuh waktu untuk menjadi sempurna, namun untuk mempertahankannya lebih melelahkan dan menyakitkan. Aku merupakan salah satu dari sekian juta perempuan yang berusaha untuk meraih kriteria sempurna, dan ini kisahku

Memang melelahkan untuk menjadi sesuatu yang bukan seperti apa yang semestinya kita. Terkadang, ingin kulepas semua cat dan topeng yang menempel pada wajahku, namun dengan alasan sosial yang harmonis aku rela bertahan hingga aku menemukan ujungnya, sebuah akhir akibat waktu yang terus menggerogoti topeng ini. Aku tidak menyalahkan mereka yang membenciku, itu hak mereka. Namun jangan salah, aku juga memiliki hak untuk membenci kalian, namun aku memilih untuk menguburnya baik-baik hingga aku sendiri yang memutuskan untuk mengeluarkannya kembali dengan kondisi terbakar api abadi. Entah karena trauma akan masa lalu atau tuntutan akan hidup yang membuatku begini. Semakin lama aku semakin menguasainya, dan aku sadar sama halnya seperti kupu-kupu, aku bermetaforfosa menjadi wanita seutuhnya. Dan aku sadar, umur kupu-kupu tidak lebih dari satu bulan

Setiap orang mempunyai angan dan mimpi, dan setiap orang memiliki angan dan mimpi  yang beragam. Mimpiku adalah bumi menjadi tempat yang damai dan aku sebagai pemimpinnya, keren bukan? Aku menyukai tantangan, dan aku yakin setiap awal memiliki akhir dan setiap akhir akan bertemu dengan awal yang baru. Jalan menuju sukses memang tidak mudah, banyak lubang dan kerikil yang siap menjatuhkanku kapanpun di saat aku lengah. Sempat aku ragu karena ujung yang aku cari tidak kunjung tampak, namun dorongan dari orang sekitar membuatku terus bersemangat hingga aku melewati garis akhir. Tentu saja dorongan yang mereka berikan tidak semuanya bersifat negatif. Apapun yang mereka katakan padaku, akan kubuktikan kalau mereka salah dan akan kalah di kemudian hari

Sempat aku bertanya, normalkah aku? Mengingat usiaku yang bisa dibilang belia aku sudah memikirkan hal yang tidak semestinya dipikirkan oleh sebayaku. Di atas tanah ini aku menemukan banyak orang yang tidak biasa. Mereka yang mencari jalan dan solusi hidup sendiri. Mereka yang dianggap tidak waras dan sulit di terima di lingkungannya. Mereka, yang mungkin, bernasib sama sepertiku. Entah apa yang Tuhan rencanakan namun aku bersyukur atas segala yang dilimpahkan-Nya. Semakin berkurang umurku semakin jenuh kepalaku akibat apa yang kumiliki, namun tetap saja semua ini bagai bantal tidur yang nyaman

Setiap hidup itu pilihan, entah bangkit dan berusaha atau jatuh dan menyesal

-K