7/04/2014

Peranakan Konyol

Manusia tidak akan pernah kehabisan waktu untuk berlaku konyol. Kombinasikan kata bodoh dan tidak lazim maka kalian akan mendapatkan kata “konyol”. Bahkan beberapa orang di dunia ini harus meninggal dunia dengan cara konyol. Terus aja gue ngetik konyol sampai typo huruf Y keganti huruf T. Penempatan Y dan T di keyboard bersebelahan itu bukan kebetulan gue rasa karena salah ketik sedikit dari konyol bisa jadi kon…

Begini, populasi ateis semakin hari semakin banyak dan populasi teis semakin hari semakin berkurang. Ironisnya, orang-orang ateis ini kebanyakan adalah hasil ikut-ikutan. Di lingkungan sekolah gue baru segelintir orang yang mulai terbuka atas orientasi kepercayaannya. Ada yang blak-blakan bilang gak percaya agama dan tuhan. Ada lagi yang bilang gak percaya agama tapi percaya tuhan. Ini entah dia gak suka diatur aturan agama atau ingin enaknya aja gue gak ngerti. Tapi yasudahlah, terserah hidup dia. Mereka menyebut diri mereka sebagai deist, tidak beragama namun percaya adanya tuhan.

Dua bulan yang lalu gue sempat bertengkar dengan orang deist ini. Kita bertengkar bukan karena mendebatkan perbedaan kepercayaan tapi dia marah sama gue karena gue iseng bacain Alfatihah ke botol minum dia. Entah ide dari mana itu datangnya tapi gue melakukannya begitu saja bersama teman gue yang bernama Irva. Dalam cerita ini, tokoh antagonisnya sebut saja Korra.

Sebelumnya, Korra masuk dalam daftar teman terdekat gue. Dia cerita kalau dia bagian dari deist. Yang gue paham dari argumennya saat itu adalah dia percaya bahwa terdapat suatu mahluk yang menjadi motor penggerak alam semesta ini yang dia sebut tuhan tapi dia yakin kalau agama yang ada saat ini di dunia bukanlah ajaran yang dilahirkan dari mahluk tersebut. Waktu itu dia sempat bertanya, “Kalau orang non-Islam itu pasti masuk neraka gak sih?”

Di kartu identitasnya dia Islam, tapi dalam hatinya bukan Islam. Gue membalas pertanyaannya, “Karena gue orang Islam, gue sih diajarinnya orang yang non-Islam itu kafir dan orang kafir itu tempatnya di neraka setelah kiamat nanti.”

Sampai di situ dia cerita banyak hal ke gue tentang pandangan-pandangan dia akan ketuhanan. Apa yang gue tangkap dari pembicaraannya adalah dia bangga menjadi yang pertama di antara yang lain. Meski begitu, dalam hati gue menggebu-gebu pertanyaan, “Kenapa lo bangga terhadap sesuatu yang tidak layak untuk dibanggakan?”. Gue bilang hal itu tidak layak untuk dibanggakan karena terlalu klise dan preachy, ekstrimis. Lo mau agamanya Islam kek, Yahudi kek, pemuja kerang ajaib kek, akan terkesan arogan dan rasis kalau lo bangga, karena dari rasa bangga itu akan muncul rasa meremehkan agama yang lain. Ditambah lagi gak ada yang peduli lo percaya sama apa, keimanan itu urusan individual.

Kita lompat ke adegan di mana gue dan Irva membacakan surat Alfatihah ke botol minumannya. Entah kenapa, kelakuan kita berdua membuat dia marah. Kemarahannya itu melepaskan tanda tanya besar, kenapa?

Alasannya tidak sederhana:
“Gue gak suka ya lo main-main kayak gitu. Kalo gue minum itu terus gue mati gimana? Lo mau buktiin apa sih? Kalo lo religius? Mau nyindir gue yang non religius?”

Satu kata yang langsung muncul di benak gue saat itu: konyol.

Gak pernah gue bertemu dengan orang yang beranggapan kalau dia akan mati setelah minum air yang dibacakan doa. Gue gak masukin racun ataupun bahan kimia berbahaya ke dalam botol minum dia, tapi kenapa? Dan gue melakukan hal itu jelas-jelas murni bercanda tanpa intensi menyindir dia yang non religius. Ini keterlaluan. Seperti lo menghadapi anak yang baru menginjak masa remaja dan dia baru menemukan jati dirinya yang semu. Bangga-bangga childish.

Gue menjelaskan segalanya panjang lebar, mulai dari pandangan gue tentang sikapnya yang kekanakan sampai pandangan gue yang gak pernah memandang rendah suatu kepercayaan. Pada akhirnya, dia menyerah dengan cara yang konyol pula: pura-pura bego. Argumen gue terbukti lebih kuat ketimbang argumen dia. Gue hidup dan tumbuh dalam internet, guys. Internet penuh orang ateis yang sering bikin guyonan keagamaan yang seringkali menyakitkan. Tapi kita semua fine aja dengan itu, bahkan kita saling berbalas menghina ateis dengan guyonan yang gak kalah menyakitkan. Standar hina-menghina dalam kemasan jokes itu biasa, apalagi gue yang tanpa niat menghina atau melukai perasaan dia akan orientasi ketuhanan dia?

Ceritanya, si Korra ini hidup di tengah-tengah lingkungan metropolitan. Dia sering bergaul dengan orang-orang, melancong ke tempat-tempat yang sering disinggahi kaum borjuis, kedua orang tuanya pun membiarkan dia hidup dengan gaya hidup konsumtif. Dengan lingkungannya yang seperti itu, seharusnya tingkat kecerdasannya juga mencapai standar modern. Dan gue gak percaya, orang yang hidup dalam arus globalisasi seperti dia bisa iritasi karena hal yang dianggap orang modern sebagai hal yang biasa.

Saking pluralnya Jakarta ini, kemungkinan muncul jenis warganya yang aneh-aneh adalah seratus persen.

Setelah pertengkaran tanpa pertumpahan darah tersebut terlampaui, kita gak pernah komunikasi lagi, baik gue maupun Irva. Menyebalkannya adalah, dia cerita ke semua orang terdekatnya. Masalahnya, orang terdekatnya adalah akses sosial gue juga. Gue dan Irva kecolongan start dari dia yang udah cerita ke banyak pasang telinga. Berdasarkan narasumber yang terpercaya, dia cerita tanpa menceritakan bagian-bagian yang terbukti sikapnya dia adalah salah. Gue dan Irva sama-sama sepakat untuk membiarkan Korra meneruskan sikapnya itu karena kita sama-sama percaya suatu hari dia akan menengok ke belakang dan malu.

Dari sini, gue belajar makna kalimat some better left unsaid. Biar orang yang menilai ceritanya. Kalau dia waras, gue yakin dia juga akan berdecak kagum akan kekonyolannya.

Bercanda gue dinilai keterlaluan setelah Korra gak suka kalau air minumnya dibacakan doa. Coba kalau dia biasa aja, masalah selesai. Lagipula, kalian mikir deh, ada gak sih rekam jejak air doa (agama manapun) yang menyebabkan kematian?


Salam super.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar