Manusia tidak akan pernah kehabisan waktu untuk berlaku
konyol. Kombinasikan kata bodoh
dan tidak lazim maka
kalian akan mendapatkan kata “konyol”. Bahkan beberapa orang di dunia ini harus meninggal dunia dengan cara
konyol. Terus aja gue ngetik konyol sampai typo huruf Y keganti huruf T.
Penempatan Y dan T di keyboard bersebelahan itu bukan kebetulan gue rasa karena salah ketik
sedikit dari konyol bisa jadi kon…
Begini, populasi ateis semakin hari semakin banyak dan
populasi teis semakin hari semakin berkurang. Ironisnya, orang-orang ateis ini
kebanyakan adalah hasil ikut-ikutan. Di lingkungan sekolah gue baru segelintir orang yang
mulai terbuka atas orientasi kepercayaannya. Ada yang blak-blakan bilang gak percaya agama dan tuhan. Ada lagi
yang bilang gak percaya
agama tapi percaya tuhan. Ini entah dia gak suka diatur aturan agama atau ingin enaknya aja gue gak ngerti. Tapi
yasudahlah, terserah hidup dia. Mereka menyebut diri mereka sebagai deist,
tidak beragama namun percaya adanya tuhan.
Dua bulan yang lalu gue sempat bertengkar dengan orang deist
ini. Kita bertengkar bukan karena mendebatkan perbedaan kepercayaan tapi dia
marah sama gue karena gue iseng bacain Alfatihah ke botol minum dia. Entah ide dari mana itu datangnya
tapi gue melakukannya begitu saja bersama teman gue yang bernama Irva. Dalam
cerita ini, tokoh antagonisnya sebut saja Korra.
Sebelumnya, Korra masuk dalam daftar teman terdekat gue. Dia cerita kalau dia
bagian dari deist. Yang gue paham dari argumennya saat itu adalah dia percaya bahwa terdapat suatu mahluk yang menjadi motor
penggerak alam semesta ini yang dia sebut tuhan tapi dia yakin kalau agama yang
ada saat ini di dunia bukanlah ajaran yang dilahirkan dari mahluk tersebut.
Waktu itu dia sempat bertanya, “Kalau orang non-Islam itu pasti masuk neraka
gak sih?”
Di kartu identitasnya dia Islam, tapi dalam hatinya bukan
Islam. Gue membalas pertanyaannya, “Karena gue orang Islam, gue sih diajarinnya
orang yang non-Islam itu kafir dan orang kafir itu tempatnya di neraka setelah kiamat nanti.”
Sampai di situ dia cerita banyak hal ke gue tentang
pandangan-pandangan dia akan ketuhanan. Apa yang gue tangkap dari
pembicaraannya adalah dia bangga menjadi yang pertama di antara yang lain.
Meski begitu, dalam hati gue menggebu-gebu pertanyaan, “Kenapa lo bangga terhadap sesuatu yang tidak layak
untuk dibanggakan?”.
Gue bilang hal itu tidak layak untuk dibanggakan karena terlalu klise dan preachy, ekstrimis. Lo mau agamanya
Islam kek, Yahudi kek, pemuja kerang ajaib kek, akan terkesan arogan dan rasis
kalau lo bangga, karena dari rasa bangga itu akan muncul rasa meremehkan agama
yang lain. Ditambah lagi gak ada yang peduli lo percaya sama apa, keimanan itu
urusan individual.
Kita lompat ke adegan di mana gue dan Irva membacakan surat Alfatihah ke botol
minumannya. Entah kenapa, kelakuan kita berdua membuat dia marah. Kemarahannya
itu melepaskan tanda tanya besar, kenapa?
Alasannya tidak sederhana:
“Gue gak suka ya lo main-main kayak gitu. Kalo gue minum itu
terus gue mati gimana? Lo mau buktiin apa sih? Kalo lo religius? Mau nyindir
gue yang non religius?”
Satu kata yang langsung muncul di benak gue saat itu:
konyol.
Gak pernah gue bertemu dengan orang yang beranggapan kalau
dia akan mati setelah minum air yang dibacakan doa. Gue gak masukin racun
ataupun bahan kimia berbahaya ke dalam botol minum dia, tapi kenapa? Dan gue
melakukan hal itu jelas-jelas
murni bercanda tanpa intensi menyindir dia yang non religius. Ini
keterlaluan. Seperti lo menghadapi anak yang baru menginjak masa remaja dan dia
baru menemukan jati dirinya yang semu. Bangga-bangga childish.
Gue menjelaskan segalanya panjang lebar, mulai dari
pandangan gue tentang sikapnya yang kekanakan sampai pandangan gue yang gak
pernah memandang rendah suatu kepercayaan. Pada akhirnya, dia menyerah dengan
cara yang konyol pula: pura-pura bego. Argumen gue terbukti lebih kuat
ketimbang argumen dia. Gue hidup dan tumbuh dalam internet, guys. Internet penuh orang ateis yang
sering bikin guyonan keagamaan yang seringkali menyakitkan. Tapi kita semua fine aja dengan itu, bahkan kita saling
berbalas menghina ateis dengan guyonan yang gak kalah menyakitkan. Standar
hina-menghina dalam kemasan jokes itu
biasa, apalagi gue yang tanpa niat menghina atau melukai perasaan dia akan orientasi ketuhanan dia?
Ceritanya, si Korra ini hidup di tengah-tengah lingkungan
metropolitan. Dia sering bergaul dengan orang-orang, melancong ke tempat-tempat
yang sering disinggahi kaum borjuis, kedua orang tuanya pun membiarkan dia
hidup dengan gaya hidup konsumtif. Dengan lingkungannya yang seperti itu,
seharusnya tingkat kecerdasannya juga mencapai standar modern. Dan gue gak
percaya, orang yang hidup dalam arus globalisasi seperti dia bisa iritasi karena hal yang dianggap orang
modern sebagai hal yang biasa.
Saking pluralnya Jakarta ini, kemungkinan muncul jenis
warganya yang aneh-aneh adalah seratus persen.
Setelah pertengkaran tanpa pertumpahan darah tersebut terlampaui, kita gak pernah
komunikasi lagi, baik gue maupun Irva. Menyebalkannya adalah, dia cerita ke
semua orang terdekatnya. Masalahnya, orang terdekatnya adalah akses sosial gue
juga. Gue dan Irva kecolongan start dari dia yang udah cerita ke banyak pasang
telinga. Berdasarkan narasumber yang terpercaya, dia cerita tanpa menceritakan
bagian-bagian yang terbukti sikapnya dia adalah salah. Gue dan Irva sama-sama
sepakat untuk membiarkan Korra meneruskan sikapnya itu karena kita sama-sama percaya
suatu hari dia akan menengok ke
belakang dan malu.
Dari sini, gue belajar makna kalimat some better left unsaid. Biar orang yang menilai ceritanya. Kalau
dia waras, gue yakin dia juga akan berdecak kagum akan kekonyolannya.
Bercanda gue dinilai keterlaluan setelah Korra gak suka
kalau air minumnya dibacakan doa. Coba kalau dia biasa aja, masalah selesai.
Lagipula, kalian mikir deh, ada gak sih rekam jejak air doa (agama manapun)
yang menyebabkan kematian?
Salam super.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar