Namaku Mawar. Aku hidup dengan dua anak angkat yang masih kecil dan belum sekolah. Beratnya
biaya hidup ibu kota membuatku harus bekerja mati-matian untuk menafkahi mereka
berdua, membuatku harus
menjadi ayah sekaligus ibu. Kami tinggal di suatu rusun yang biaya
sewanya sembilan ratus ribu rupiah per bulan. Gaji bulananku tergantung
seberapa keras aku bekerja, paling banyak hanya sampai dua juta. Pekerjaanku
adalah menjadi buruh seni. Aku sebut buruh seni karena aku sering menghibur
orang-orang.
Suci menjadi kata sifat subyektif sejak manusia memulai
aturan kebebasan berpendapat. Namun aturan itu tak dapat mengalahkan aturan
kuno sebelumnya, bahwa kotor adalah kata sifat yang mutlak dan hina sejak
manusia diturunkan ke bumi. Barometer kesucian seseorang dapat diukur dari seberapa
dalam ilmu keagamaan seseorang, banyaknya perbuatan baik yang tampak, dan
kepatuhannya akan norma sosial dan susila. Masyarakat awam menggolongkanku
dalam golongan orang-orang kotor dan hina.
Atau sekedar hidup dalam jalan yang sudah ditentukan dapat
membuatmu menjadi suci.
Setelah dikelompokkan, aku bergaul dengan orang-orang yang
sama-sama kotor. Orang-orang yang dipandang hanya mengutamakan urusan duniawi.
Orang-orang yang dipandang tidak berguna dan mengganggu bagi sebagian orang.
Tapi lama-kelamaan orang terbiasa dengan keberadaan kami. Kami dibiarkan tumbuh
seperti lumut pada tembok. Perlahan-lahan kami juga menjadi bagian dari
kehidupan orang-orang suci.
Padahal hanya karena mereka hidup dalam kabut stereotip,
mereka bilang mereka suci.
Kedua anak angkatku memiliki nasib yang lebih menyedihkan.
Mereka kutemukan kedinginan dan kelaparan pada malam hari di bawah jalan layang
sehabis hujan. Aku membawa mereka ke kantor polisi untuk dicari keberadaan
orang tua mereka, namun polisi tidak suka mendengarkan suara orang kotor.
Akhirnya, aku berjanji untuk merawat mereka sampai mereka cukup dewasa untuk
hidup sendiri.
Aku biasa bekerja pada malam hari. Orang-orang kotor memang
lebih banyak beraktivitas pada malam hari. Aku bekerja menjadi penghibur banyak
orang, mayoritas berjenis kelamin laki-laki. Hanya sekedar bernyanyi atau
menemani orang-orang kesepian. Terkadang, bila yang kuhibur adalah laki-laki
kaya dan dalam keadaan mabuk, dia seenaknya memberi uang dengan jumlah yang
seenaknya pula kuminta.
Apakah ada jalang yang diangkat menjadi malaikat?
Anak angkatku sudah seperti anak kandungku sendiri. Aku
bahagia telah menemukan mereka kedinginan pada malam itu, aku bahagia bisa
merawat mereka, dan aku bahagia hari-hariku diisi dengan tawa anak-anak yang
turut mencerahkan warna hidup ini. Semoga mereka sependapat denganku bahwa aku
telah menjadi orang tua
yang baik bagi mereka.
Dinasehati para pendeta sudah biasa. Dipukuli para pastur sudah biasa. Mereka mencoba memperbaikiku, tapi tak bisa. Mereka ingin diriku untuk tidak menjadi diriku, tapi tak bisa. Karena aku bukan plastisin dan aku bukan mainan rusak.
Siapa yang berani
bernyanyi
Nanti akan dikebiri
Siapa yang berani menari
Nanti kan disuntik mati
Karena mereka paling suci
Lalu mereka bilang kami jalang
Karena kami, beda misi
Lalu mereka bilang kami jalang
Nanti akan dikebiri
Siapa yang berani menari
Nanti kan disuntik mati
Karena mereka paling suci
Lalu mereka bilang kami jalang
Karena kami, beda misi
Lalu mereka bilang kami jalang
(Jalang – Efek Rumah Kaca)
Masa lalu akan terbang bersama abu dan hangus bersama
arang. Potret diri yang lama tak akan pernah kuungkap lagi. Seorang laki-laki
kebanggaan ayah yang akhirnya jatuh membuat malu keluarga. Namun aku tak pernah
merasa sebahagia ini sebelumnya. Menjadi diri sendiri dan hidup di atas tanah
kotor dengan kedua malaikat yang paling suci yang pernah diutus Tuhan.
Aku bahagia, sungguh aku bahagia walau hidup dalam udara yang
membuatku sulit bernapas ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar