10/15/2012

Jingga dalam fana

Namaku Risma, dan ini ceritaku

Beberapa tahun lalu aku menjalani hidupku diwarnai oleh warna-warna cerah oleh lelaki paling sempurna di dunia ini. Seragam batik beserta celana abu-abu yang kebesaran di bagian betis dan aroma koridor sekolah yang khas selalu membuatku teringat padanya. Dunia begitu indah saat itu. Kini aku tersesat, tak tahu harus kemana. Aroma dupa dan kain lusuh menghapus jejakkku dimanapun aku melangkah. Sakit rasanya saat kau kehilangan orang yang kau cintai
Ardi merupakan anak yang baik. Ia selalu mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya. Ia yang membuatku tersenyum, ia pula yang membuatku menitikkan air mata. Mungkin ia bukan yang paling menonjol diantara yang lain, namun ia selalu ada di sampingku saat aku senang maupun sedih, tak peduli suasana apa yang mengisi hatinya. 3 tahun ia di sampingku, melindungiku, menjagaku, menyelamatkanku dari segala marabahaya yang ada. Ia menyayangiku, begitu pula aku hingga nila membanjiri akal dan jiwa.
Suatu hari sehabis kami bertengkar hebat aku memutuskan untuk keluar malam bersama teman-temanku. Aku memang belum berusia 17 tahun saat itu namun aku sudah merasa dewasa. Hanya dalam hitungan hari aku resmi menjadi dewasa sepenuhnya. Kabut emosi dan pekatnya rasa depresi membuatku buta arah. Malam tidak pernah mengecewakan, namun di saat pandanganmu kabur di situlah permainan dimulai. Tirai afghan yang anggun terbuka lebar-lebar dan menunjukkan sisi dunia malam yang sesungguhnya. Uang terasa ringan di tanganmu, perempuan tak lagi ditinggikan derajatnya, hitam dan merah bercampur dalam gemerlapnya malam. Suasana mencekam terbalut dalam gaun-gaun indah penari dan warna-warni lampu. Pening di kepala tak menghalangiku untuk berhenti meminum semua cairan kimia itu
Aku mengagumi Awan, temanku saat aku duduk di kelas 10. Rambutnya yang ikal, rahangnya yang kuat, tubuhnya yang atletis, perempuan mana yang tidak tergila-gila padanya? Lupakan Ardi, mungkin ia telah melupakanku dan berjalan dengan perempuan lain. Kutarik kemeja Awan dan menyeretnya ke lantai dansa. Kami benar-benar menikmati malam itu hingga aku merasa lelah. Kemudian kami duduk di kursi panjang. Aku bersandar di bahunya yang sekeras batu. Mataku terasa berat, kakiku bahkan tak kuasa menahan berat badanku. Di saat terlemah Awan menarik kepalaku, memaksa kami bertatapan. Ia menopang daguku, tatapannya tajam bagaikan elang, menyodorkan bibirnya yang tebal dan basah. Aku mulai tersadar dan mendorong badannya, berusaha untuk lepas dari cengkramannya. Suaraku habis disaat aku ingin berteriak, terlukis senyum jahat di wajahnya. Energiku terkuras habis dan aku memutuskan untuk pasrah. Aku memejamkan mataku, berharap Ardi kembali padaku, melayangkan tinju ke wajah pria bedebah ini
Tuhan menjawab doaku. Ardi menarik Awan dan melemparnya jauh-jauh dariku. Ia membawaku pulang dari tempat gelap itu menggunakan sepeda motornya. Saat kami sampai di pintu gerbang rumahku Ardi melontarkan sejuta kata-kata dan beragam emosi abstrak yang tak bisa kutebak karena sudah tercampur rata dengan dinginnya udara malam. Lalu untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis. Termakan emosi, aku pun membalas semua luapan emosinya dengan kata-kata kotor, meninggalkannya di belakang bersama lampu jalan yang redup.
Keesokan harinya aku tak melihat Ardi di sekolah. Aku bertanya-tanya namun tak ada yang memberi tahu hingga seorang teman berlari dari gerbang sekolah dengan berurai air mata menghampiriku. "Ardi...." ia berkata dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Saat ia memberitahuku keadaan Ardi, air mata mengalir deras membasahi pipiku. Aku berlari sekuat tenaga, menghampiri sepeda milik satpam sekolah tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku, mengarungi jalan besar dan... Orang-orang mulai mengerumuni tubuh Ardi yang bersimbah darah. Sepeda motornya rusak tak berbentuk, orang-orang hanya menonton, tak berlaku apa-apa. Kuhampiri tubuhnya, kurebahkan kepalanya di pangkuanku, menangis sekencang mungkin tanpa menghiraukan jumlah mata yang sedang memperhatikanku. Celana abu-abunya sobek, batiknya kotor, ternodai pekatnya darah. Polisi mulai berdatangan, menenangkan situasi dan membawa Ardi ke rumah sakit. Aku menemaninya seharian hingga ia dibawa ke tempat tinggalnya untuk diistirahatkan yang terakhir kalinya.
Di kediamannya ibu Ardi memberiku secarik kertas. Katanya kertas itu harus diberikan kepada perempuan bernama Risa. Aku Risa, dan aku membaca isi dari kertas tersebut secara pelan dan perlahan

Risma.. Aku tahu mungkin ini akan terjadi. Jika kau sedang membaca surat ini mungkin aku sudah tiada. Aku memang punya firasat-firasat buruk meski aku tahu kau hanya akan menganggapku berkhayal. 3 tahun merupakan waktu yang lama dalam menjalin hubungan. Aku masih ingat wajahmu yang masih kekanak-kanakan saat dulu masa orientasi kita. Aku ingat setiap senior yang menghampirimu selalu mengagumi kecantikanmu. Banyak pria di sana yang menginginkanmu, namun aku merebutmu duluan. Mungkin aku bukan yang terbaik, namun aku yakin hatiku hanya untukmu. Aku ingin kau tahu aku selalu memikirkan keadaanmu setiap saat, mengkhawatirkanmu lebih dari yang kau kira. Aku takut kau terjatuh di lubang yang gelap dan dalam hingga kau terluka. Aku sudah memiliki firasat sekitar seminggu yang lalu. Aku sengaja tak cerita padamu karena aku takut kamu meninggalkanku di saat terakhir aku bernafas di dunia
Risma, maafkan aku yang telah berbuat kasar kepadamu, yang telah melukai hatimu, yang telah membuatmu menangis setiap malam. Aku tahu aku salah, malam itu aku sangat khawatir akan dirimu. Sungguh, aku tak pernah berniat untuk melukaimu.
Risma, aku harap kau selalu mengingatku. Meski aku tak akan pernah menghampirimu di kelas, meski aku tak akan pernah lagi menjemputmu untuk pergi ke sekolah, namun yakinlah Risma, aku akan selalu menemanimu disaat kau terpuruk. Kamu: Inspirasiku

Air mata membasahi pipiku, tubuhku gemetar dibuatnya. Ardi, kenapa harus begini? Aku menyesal telah membentakmu malam itu, aku menyesal telah membuatmu khawatir, aku menyesal atas segala perbuatanku. Biarkan aku menyusulmu Ardi, biarkan aku tidur di sampingmu..
Tanpa pikir panjang aku berlari ke jalan besar tempat dimana Ardi menghembuskan nafas terakhirnya. Mungkin ini yang terbaik, mungkin memang ini yang terbaik..
Seketika semua berubah menjadi gelap. Tubuhku terasa remuk, sakit. Aku mendengar suara orang-orang yang lama-lama memudar... Layaknya tidur, aku terbangun dengan kondisi yang parah. Kakiku sulit untuk digerakkan, perutku terasa sobek, kepalaku terasa pecah. Aku berjalan, terus berjalan di lorong gelap beraroma dupa, pulang. Aku dapat mendengar suara tangisan ibuku, adikku, ayahku, keluargaku. Apa yang telah kulakukan? Aku menyesal telah berlaku begini. Ardi pun tak pernah kutemukan. Keluarga yang menyayangiku kutinggalkan begitu saja. Mungkin sekarang Ardi kesal, marah kepadaku yang telah bertingkah bodoh. Aku hanya bisa berjalan di lorong gelap ini sendirian..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar