Yogyakarta, kota yang hangat, indah, dan ramah. Aku sangat mencintai kota ini. Sudah 10 tahun aku menginjakkan kakiku di tanah berpasir vulkanik. Namaku Kus, dan ini ceritaku.
Pernahkah kalian berpikir bahwa sekolah sangat membosankan? Aku benci sekolah, duduk berjam-jam mendengar pak Thomas bercerita betapa hebatnya anaknya yang telah menjadi kolonel di timur. Teman-temanku tak kalah membosankan dengannya, mereka hanya menyombongkan harta orang tuanya, bersenang-senang disamping tungku perapian dengan menyiksa rakyat pribumi. Hanya Peter yang tidak seperti mereka. Ia sering kabur dari pelajaran denganku dan bermain-main dibawah pohon manggis di belakang sekolah. Jika ketahuan ibuku maka aku habis dimarahinya. Ibuku masih sangat belia. Perbedaan umur kami hanya 20 tahun. Wajar, ia menikahi ayahku saat ia berumur 16 tahun dimana ayahku berumur 50 tahun. Di tanah kelahiranku, perempuan tak ada artinya dibanding harta dan tahta. Ayahku seorang bupati, pejabat keraton yang setia. Ia memang bergelimang harta, menjabat kedudukan tinggi namun hatinya sangat baik. Kalau saja ia tidak pergi menghadap-Nya saat aku berumur 3 tahun mungkin perawakannya akan lebih jelas di ingatanku. Aku benci ayah tiriku, benci. Ia hanya dapat memakan harta tanpa bekerja. Bagiku ia tidak lebih rendah dibandingkan seorang gelandangan. Korupsi yang membuatnya bangkrut dan menikahi ibuku, janda bergelimang harta. Terkadang aku bertanya kepada Tuhan, marah kepada-Nya, mengapa ayah meninggalkanku begitu cepat? Bahkan aku belum dapat merasakan bagaimana hangatnya rangkulan ayah, ketegasannya dalam menghadapi masalah keegaraan, dan kebahagiaan saat ia pulang dari keraton membawakanku mainan listrik dari Belanda. Kakakku, Risman lebih beruntung dibandingkanku. Setidaknya ia telah mendapatkan kereta listrik itu. Aku iri padanya. Aku memang warga kerajaan namun aku tidak berlaku selayaknya bangsawan
"Kus, kau tahu? Ayahku terus bercerita tentang manusia kerdil bermata sipit. Aku penasaran, mungkinkah kurcaci ada?" tanya Peter yang sedang duduk di dahan pohon. "Kau percaya kurcaci? Setidaknya kurcaci tidak bermata sipit" jawabku.
"Tapi kata Sarah mereka ada! Kata ayahku mereka sangat kejam dan mereka akan datang ke sini. Setiap hari ayahku selalu menyebut mereka Nippon dengan intonasi marah"
Mataku terbelalak. Mungkinkah kurcaci dapat berlaku kejam? Setahuku mereka ramah dan senang bekerja keras di hutan. Lagipula, apa itu Nippon? Apakah para Nippon tak punya tempat tinggal lagi? Buat apa mereka ke sini?
"Mungkin ayahmu hanya menakutimu saja, Peter. Kurcaci itu hanya ada di dunia dongeng. Lagipula aku tak pernah mendengar yang berjenis Nippon. Seharusnya kau lebih sering tidur tepat waktu hahahahaha"
Aku mendengar langkah kaki yang cepat. Saat aku berbalik ibuku datang dengan peluh yang mengalir sangat deras. Ia menarik tanganku dari Peter, tanpa menjelaskan atau mengeluarkan sepatah katapun. Aku mengelak namun kembali ia menarikku, membawaku pulang meninggalkan Peter sendiri
"Apa yang ibu lakukan? Aku tidak pulang larut malam, aku baru saja bermain!"
"Jauhi orang Belanda itu, Kus!"
"Apa salah Peter? Apa salahku? Aku hanya ingin bermain!"
"Kau bisa mati karenanya! Jauhi orang-orang Belanda! Jauhi keluarga Peter!"
Kenapa ibuku? Ada apa dengan Peter? Aku bingung, kenapa dengan orang-orang Belanda? Tak biasanya ibuku membenci keluarga Peter seperti itu. Lalu kenapa aku bisa mati karenanya?
Pertengkaran kami berhenti saat kami mendengar ketukan pintu yang disertai suara langkah kaki yang berat. Ibuku menggendongku ke kamarku, menyuruhku untuk bersembunyi di lemari pakaian. Aku hanya diam, menguping sedikit pembicaraan mereka. Rupanya ibuku sedang berbicara dengan tentara Nippon
"Dimana manusia Netherland itu" tanya seorang Nippon dengan logat yang aneh. Lidahnya seperti tertarik saat ia mengeja huruf L dan menjadikannya semi R. Benarkah kurcaci itu ada? Mengapa ibu menyembunyikanku dari Nippon?
"Saya tidak tahu, saya tidak mempunyai urusan dengan orang Netherland dan Nippon seperti kalian. Saya hanya pejabat kerajaan, itu yang saya tahu"
Terdengar benturan keras sesaat ibu menyelesaikan kalimatnya. Aku kaget, khawatir akan ibuku. Lekas aku keluar dari tempat persembunyianku dan menghampiri ibuku. Rupanya Nippon tidak seperti apa yang Peter katakan. Mereka tinggi dan gagah, berkulit kuning dan matanya sipit bahkan beberapa kulihat samar-samar tampak. Seorang laki-laki yang sedang memegang pedang panjang menghampiriku, menarikku kepada pemimpin mereka
"Kamu teman orang Netherland? Dimana orang Netherland itu?"
Aku hanya terdiam, ketakutan. Nafas orang Nippon terasa berat dan panjang, raut wajah mereka juga menyeramkan. Aku melihat ibuku yang terkulai lemah dengan memar di pelipis kanannya. Pria itu lalu menggamparku. Rasa sakit seperti tak terasa karena tertutup oleh rasa khawatirku akan ibuku
"Dimana orang Netherland itu?!"
"Peter ada di rumahnya bersama ayahnya! Kalian tidak akan pernah dapat menyentuh Peter! Ayahnya seorang tentara!"
Pemimpin Nippon itu tersenyum kecut padaku, "Kamu sudah memberiku informasi yang baik, terima kasih"
Lalu tiba-tiba aku merasakan dentuman keras di kepalaku, mendengar jeritan ibuku dan ayah tiriku. Semua menjadi gelap... sangat gelap...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar