Pukul tiga dini hari. Ditemani segelas teh hangat dan
gemuruh dengkuran Aksel, kucing peliharaan.
Saya memang tidak menyukai kopi. Kopi itu pahit. Sesuatu
yang tidak dapat saya atasi. Saya memang ingin hidup enaknya saja, segelas teh
dengan dua bongkah balok gula.
Semakin aku tahu semakin aku bodoh. Semakin aku berusaha
berpikir semakin aku merasa tidak berkemampuan untuk mencerna. Semua data,
tulisan, kalimat kubaca tapi tak kumengerti. Mungkin mata ini lelah, mungkin
mata ini butuh kaca mata baru, mungkin penyakit disleksiaku semakin parah.
Entahlah, keimanan bukan sesuatu yang mudah untuk dibahas.
Rakyat Indonesia sedang gemar membicarakan iman. Bukan dia
yang suka mencuri mangga tetangga, bukan. Namun topik yang tak pernah basi
untuk diperdebatkan. Yang merasa benar melawan yang juga merasa benar. Semua
bergargumen, saling bertukar pikiran, dan terkadang berujung cacian lalu baku
hantam. Kepercayaan kuno yang tidak sejalan dengan teori baru dianggap fiksi
oleh sebagian orang dan mereka para ilmuwan dianggap balita yang tak tahu apa-apa.
Sungguh, aku cinta homo sapien.
Dalam Islam, saling mengingatkan untuk kembali ke jalan yang
dibenarkan Islam adalah wajib hukumnya untuk sesama umat muslim. Sama seperti
agama lainnya, agama yang berkiblat pada keesaan tuhan. Namun, keimanan adalah
hak privasi. Terlahir Islam bukan berarti hidup Islam di usia dewasa. Semua
terserah masing-masing individu. Keimanan memang hak privasi.
Bagi sebagian orang, akan kebingungan bila hidup tanpa pegangan. Sedangkan
mereka yang merasa bisa hidup sendiri bebas terbang walau liar. Tidak setiap
individu itu sama, dalam suatu kelompok pasti anggotanya memiliki kapasitas
berpikir yang berbeda. Kesamaan dalam hal tertentu membuat mereka terikat dalam
suatu kelompok dan menjalankan misi mereka masing-masing yang disebut-sebut
“Guna menyadarkan umat manusia”.
Banyak orang mulai belajar untuk membuka pikirannya.
Keterbukaan pikiran membuat banyak hal yang masuk ke tubuhnya, termasuk virus.
Namun tidak hanya virus. Vitamin, mineral, dan nutrisi lainnya juga
berdampingan dengan virus dan parasit ikut masuk menginjeksi pikiran banyak
manusia. Terlebih teknologi kian maju, untuk didengar banyak orang sama
mudahnya dengan meminum segelas air. Tinggal pilih, tetap pada ajaran yang lama
atau ikut dengan perkembangan yang ada.
Namun, bagaimana dengan orang yang mengikuti tradisi
sekaligus ikut arus modernisasi?
Mereka tidak mau rugi. Merasa neraka dan surga ada, mereka
tetap mengagungkan tuhan mereka. Di sisi yang lain mereka juga membenarkan
pernyataan sains yang mematahkan firman “tuhan” pada kitab suci mereka. Dunia
ini terus berubah dan menua. Budaya hilang, revolusi pemerintahan, evolusi
hewan, sosiologi dan sains. Ya, ilmu memang semakin dipikirkan semakin membuat
kita bingung. Ini bisa menjadi bukti bahwa tuhan yang menciptakan manusia
dengan sangat kompleks sehingga mereka selalu tersesat dalam ilmu pengetahuan,
membuat rasa ingin tahu yang lebih dalam dan akhirnya gila di jalan atau merasa
rendah diri karena belum tahu apa-apa. Semua yang tidak diketahui manusia
adalah ilmu yang tuhan punya. Adalah teori ateisme yang berkata bahwa tuhan tercipta dalam pikiran manusia atas apa yang tidak dapat diketahuinya. Simpelnya, kitab suci adalah buatan manusia.
Hawking pernah berkata, menanyakan ada apa sebelum Big Bang
itu sesuatu yang tidak ada gunanya untuk diperdebatkan. Seperti apa yang paling
selatan dari kutub selatan. Bila kita tarik garis lurus, ada luar angkasa,
ruang hampa udara di titik paling selatan dari kutub selatan, titik tak tentu. Hawking secara tidak
langsung bilang tidak ada apa-apa di balik Big Bang. Big Bang adalah ujungnya,
Big Bang adalah awal dari segalanya, titik. Namun manusia tetap kebingungan.
Mereka haus akan rasa ingin tahu. Mereka menerka-nerka ada apa di balik Big
Bang, ada apa di balik penciptaan seluruh alam semesta yang begitu luas dan
99,9% belum terjamah manusia. Mereka sebut “Tuhan” yang berdiri di balik Big
Bang.
Kita hanya bisa kembali ke masa lalu melalui sejarah yang
ditulis oleh para pemenang. Kita terlahir di masa kecanggihan teknologi elektronik,
bukan di masa terbentuknya peradaban sungai Gangga, bukan di masa kekaisaran Romawi, bukan di masa nabi
Ibrahim atau nabi Muhammad. Kita tidak bisa bersaksi langsung bahwa ayat-ayat
Alquran benar-benar turun tertulis dalam media alam atas bukti kekuasaan Allah.
Dan kita juga tidak terlahir di masa depan, masa yang juga tidak kita ketahui
seperti apa, bahkan lebih parah dari masa lalu. Tidak ada petunjuk mengenai apa
yang terjadi di depan sana dan tugas kita hanya berjalan terus berusaha untuk
hidup dan beranak.
Karena sejarah ditulis para pemenang, mungkin saja, mungkin,
tuhan dan setan adalah dua pihak yang selalu berperang hingga tuhan menang atas
setan dan ia menuliskan hal-hal yang buruk tentang setan? Entahlah. Namun
sejauh ini firman tuhan banyak mengajarkan manusia mana yang baik dan mana yang buruk sehingga semuanya menjadi terstruktur.
Saya pribadi, sejujurnya merasa ateisme masih mengganjal karena ilmu sains banyak belum menjelaskan hal ini itu. Oh ya, ateisme bukan layaknya sebuah kepercayaan. Ateisme adalah suatu ketidak percayaan. Ketidak percayaan atas tuhan dan ajaran agama. Ini bukti bahwa
manusia memang ada batasnya karena masih belum dapat menjelaskan banyak hal. Ini bukti ada sesuatu
di balik Big Bang, yang bertanggung jawab atas pembentukan segala yang bertaburan di
langit, atas segala yang bernapas di muka bumi, yang saya akui Allah yang bertanggung jawab.
Namun, saya juga tidak dapat menolak kalau sikap kritis manusia yang bergesekan dengan “firman tuhan” dalam kitab
suci dan terbukti logis. Seperti mengapa sebaik apapun orang kafir tidak dapat masuk surga atau
mengapa, bila tuhan memang berkehendak, membuat suatu bangsa terinjak oleh
bangsa lainnya selama berabad-abad dan bila bangsa itu sudah tidak
diinjak-injak lagi maka itulah tanda-tanda kiamat. (baca: Palestina)
Semua memang memungkinkan. Ilmu sains juga hanya hasil dari
pemikiran dan pembuktian yang dianggap valid oleh manusia. Agama juga sesuatu
yang hakiki, yang (mungkin) tidak diubah oleh tangan-tangan tertentu dan dan
tidak berubah oleh perkembangan zaman. Sains ibarat air dan agama ibarat batu.
Sains bersifat dinamis sedangkan agama bersifat solid. Bila sains hilang karena
menguap (air) maka ia akan kembali menjadi air melalui proses hujan. Namun bila
agama (batu) hilang karena hancur, sesungguhnya ia tidak hilang. Ia hanya pecah
menjadi berkeping-keping. Itulah yang disebut perpecahan paham dalam suatu
agama. Bonus, air dan batu sulit untuk menyatu.
Bisakah kita hidup berdampingan saja tanpa memusingkan mana
yang paling benar, kawan? Urusi saja hidup kalian dan nafkahi keluarga kalian
masing-masing dengan baik. Urusan kepercayaan memang hak privasi.
Untuk semuanya, mohon maaf lahir batin yaa dan khusus umat
muslim, selamat hari lebaran!
-animus beserta keluarga dan jajaran kucing di rumah-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar