8/03/2014

Serius Sebentar. Acak

Pukul tiga dini hari. Ditemani segelas teh hangat dan gemuruh dengkuran Aksel, kucing peliharaan.

Saya memang tidak menyukai kopi. Kopi itu pahit. Sesuatu yang tidak dapat saya atasi. Saya memang ingin hidup enaknya saja, segelas teh dengan dua bongkah balok gula.

Semakin aku tahu semakin aku bodoh. Semakin aku berusaha berpikir semakin aku merasa tidak berkemampuan untuk mencerna. Semua data, tulisan, kalimat kubaca tapi tak kumengerti. Mungkin mata ini lelah, mungkin mata ini butuh kaca mata baru, mungkin penyakit disleksiaku semakin parah. Entahlah, keimanan bukan sesuatu yang mudah untuk dibahas.

Rakyat Indonesia sedang gemar membicarakan iman. Bukan dia yang suka mencuri mangga tetangga, bukan. Namun topik yang tak pernah basi untuk diperdebatkan. Yang merasa benar melawan yang juga merasa benar. Semua bergargumen, saling bertukar pikiran, dan terkadang berujung cacian lalu baku hantam. Kepercayaan kuno yang tidak sejalan dengan teori baru dianggap fiksi oleh sebagian orang dan mereka para ilmuwan dianggap balita yang tak tahu apa-apa. Sungguh, aku cinta homo sapien.

Dalam Islam, saling mengingatkan untuk kembali ke jalan yang dibenarkan Islam adalah wajib hukumnya untuk sesama umat muslim. Sama seperti agama lainnya, agama yang berkiblat pada keesaan tuhan. Namun, keimanan adalah hak privasi. Terlahir Islam bukan berarti hidup Islam di usia dewasa. Semua terserah masing-masing individu. Keimanan memang hak privasi.

Bagi sebagian orang, akan kebingungan bila hidup tanpa pegangan. Sedangkan mereka yang merasa bisa hidup sendiri bebas terbang walau liar. Tidak setiap individu itu sama, dalam suatu kelompok pasti anggotanya memiliki kapasitas berpikir yang berbeda. Kesamaan dalam hal tertentu membuat mereka terikat dalam suatu kelompok dan menjalankan misi mereka masing-masing yang disebut-sebut “Guna menyadarkan umat manusia”.

Banyak orang mulai belajar untuk membuka pikirannya. Keterbukaan pikiran membuat banyak hal yang masuk ke tubuhnya, termasuk virus. Namun tidak hanya virus. Vitamin, mineral, dan nutrisi lainnya juga berdampingan dengan virus dan parasit ikut masuk menginjeksi pikiran banyak manusia. Terlebih teknologi kian maju, untuk didengar banyak orang sama mudahnya dengan meminum segelas air. Tinggal pilih, tetap pada ajaran yang lama atau ikut dengan perkembangan yang ada.

Namun, bagaimana dengan orang yang mengikuti tradisi sekaligus ikut arus modernisasi?

Mereka tidak mau rugi. Merasa neraka dan surga ada, mereka tetap mengagungkan tuhan mereka. Di sisi yang lain mereka juga membenarkan pernyataan sains yang mematahkan firman “tuhan” pada kitab suci mereka. Dunia ini terus berubah dan menua. Budaya hilang, revolusi pemerintahan, evolusi hewan, sosiologi dan sains. Ya, ilmu memang semakin dipikirkan semakin membuat kita bingung. Ini bisa menjadi bukti bahwa tuhan yang menciptakan manusia dengan sangat kompleks sehingga mereka selalu tersesat dalam ilmu pengetahuan, membuat rasa ingin tahu yang lebih dalam dan akhirnya gila di jalan atau merasa rendah diri karena belum tahu apa-apa. Semua yang tidak diketahui manusia adalah ilmu yang tuhan punya. Adalah teori ateisme yang berkata bahwa tuhan tercipta dalam pikiran manusia atas apa yang tidak dapat diketahuinya. Simpelnya, kitab suci adalah buatan manusia.

Hawking pernah berkata, menanyakan ada apa sebelum Big Bang itu sesuatu yang tidak ada gunanya untuk diperdebatkan. Seperti apa yang paling selatan dari kutub selatan. Bila kita tarik garis lurus, ada luar angkasa, ruang hampa udara di titik paling selatan dari kutub selatan, titik tak tentu. Hawking secara tidak langsung bilang tidak ada apa-apa di balik Big Bang. Big Bang adalah ujungnya, Big Bang adalah awal dari segalanya, titik. Namun manusia tetap kebingungan. Mereka haus akan rasa ingin tahu. Mereka menerka-nerka ada apa di balik Big Bang, ada apa di balik penciptaan seluruh alam semesta yang begitu luas dan 99,9% belum terjamah manusia. Mereka sebut “Tuhan” yang berdiri di balik Big Bang.

Kita hanya bisa kembali ke masa lalu melalui sejarah yang ditulis oleh para pemenang. Kita terlahir di masa kecanggihan teknologi elektronik, bukan di masa terbentuknya peradaban sungai Gangga, bukan di masa kekaisaran Romawi, bukan di masa nabi Ibrahim atau nabi Muhammad. Kita tidak bisa bersaksi langsung bahwa ayat-ayat Alquran benar-benar turun tertulis dalam media alam atas bukti kekuasaan Allah. Dan kita juga tidak terlahir di masa depan, masa yang juga tidak kita ketahui seperti apa, bahkan lebih parah dari masa lalu. Tidak ada petunjuk mengenai apa yang terjadi di depan sana dan tugas kita hanya berjalan terus berusaha untuk hidup dan beranak.

Karena sejarah ditulis para pemenang, mungkin saja, mungkin, tuhan dan setan adalah dua pihak yang selalu berperang hingga tuhan menang atas setan dan ia menuliskan hal-hal yang buruk tentang setan? Entahlah. Namun sejauh ini firman tuhan banyak mengajarkan manusia mana yang baik dan mana yang buruk sehingga semuanya menjadi terstruktur.

Saya pribadi, sejujurnya merasa ateisme masih mengganjal karena ilmu sains banyak belum menjelaskan hal ini itu. Oh ya, ateisme bukan layaknya sebuah kepercayaan. Ateisme adalah suatu ketidak percayaan. Ketidak percayaan atas tuhan dan ajaran agama. Ini bukti bahwa manusia memang ada batasnya karena masih belum dapat menjelaskan banyak hal. Ini bukti ada sesuatu di balik Big Bang, yang bertanggung jawab atas pembentukan segala yang bertaburan di langit, atas segala yang bernapas di muka bumi, yang saya akui Allah yang bertanggung jawab. Namun, saya juga tidak dapat menolak kalau sikap kritis manusia yang bergesekan dengan “firman tuhan” dalam kitab suci dan terbukti logis. Seperti mengapa sebaik apapun orang kafir tidak dapat masuk surga atau mengapa, bila tuhan memang berkehendak, membuat suatu bangsa terinjak oleh bangsa lainnya selama berabad-abad dan bila bangsa itu sudah tidak diinjak-injak lagi maka itulah tanda-tanda kiamat. (baca: Palestina)

Semua memang memungkinkan. Ilmu sains juga hanya hasil dari pemikiran dan pembuktian yang dianggap valid oleh manusia. Agama juga sesuatu yang hakiki, yang (mungkin) tidak diubah oleh tangan-tangan tertentu dan dan tidak berubah oleh perkembangan zaman. Sains ibarat air dan agama ibarat batu. Sains bersifat dinamis sedangkan agama bersifat solid. Bila sains hilang karena menguap (air) maka ia akan kembali menjadi air melalui proses hujan. Namun bila agama (batu) hilang karena hancur, sesungguhnya ia tidak hilang. Ia hanya pecah menjadi berkeping-keping. Itulah yang disebut perpecahan paham dalam suatu agama. Bonus, air dan batu sulit untuk menyatu.

Bisakah kita hidup berdampingan saja tanpa memusingkan mana yang paling benar, kawan? Urusi saja hidup kalian dan nafkahi keluarga kalian masing-masing dengan baik. Urusan kepercayaan memang hak privasi.

Untuk semuanya, mohon maaf lahir batin yaa dan khusus umat muslim, selamat hari lebaran!

-animus beserta keluarga dan jajaran kucing di rumah-