Baru
beberapa jam gue selesai baca buku Sunyaruri, tangan gue udah gatal
ingin meresensi novel terbaru
Risa Saraswati yang masih mengisahkan tentang dia dan ketujuh teman kecilnya yang berketurunan Belanda itu. Membayangkan wajah pucat dengan pinggiran mata
yang berwarna kehitaman, itu pertama kali yang gue kira-kira tentang gambaran teman-teman hantunya. Tapi,
seperti dalam 2 buku sebelumnya, Nona Saraswati kembali menggambarkan mereka
sebagai sosok-sosok yang lucu dan ramah untuk diajak bermain. Risa kembali
“memanusiakan” mereka. Sunyaruri merupakan kelanjutan dari novel Danur dan
Maddah. Seakan dibawa hanyut oleh cerita, seakan terhisap dalam dunianya, seakan-akan
ikut menyaksikan kejadian-kejadian yang dialami Nona Saraswati.
Sunyaruri mengisahkan tentang kehidupan penulis yang telah
lama menjalin persahabatan dengan tujuh anak kecil berkebangsaan Belanda yang
pernah menjadi manusia. Persahabatannya kembali merenggang. Tidak hanya
menceritakan tentang kisah persahabatannya, Risa juga menceritakan cerita
teman-teman lainnya yang juga bukan manusia lagi, seperti Karina. Baru membuka
beberapa halaman, sudah disaduri cerita yang dramatis. Beberapa kali gue harus
menahan air mata saat membaca kisah Karina yang malang. Bagi yang belum membaca
Sunyaruri, tautan ini dijamin penuh spoiler.
Karina yang memiliki sikap kritis membuat ayah tirinya sering naik darah dan
terkadang menganiayanya. Namun Karina tetap menyayangi ayahnya sekeji apapun
perlakuannya. Haahhh, mata gue berkaca-kaca saat membacanya. Tapi, cara Nona
Saraswati menggambarkan kejadian saat kepergian Karina sedikit mirip yang ada
di sinetron-sinteron sih, hehehe. Dramatis.
Mulut gue sempat menganga saat membacanya. Meskipun terkesan
melebih-lebihkan, sifat dramatis dari novel Sunyaruri ini menjadi nilai tambah
sekaligus nilai kurang, karena kalau gak dramatis gue rasa akan “hambar”
rasanya.
Belum selesai pemirsa. Dari cara pendongengan Risa Saraswati
dalam novel Sunyaruri ini, tergambar bahwa beliau merupakan orang yang super
emosional (bahkan Risa sendiri mengakuinya). Karena di dalam novel ini banyak
segmen dimana Risa sedang marah dan menangis. Tapi terimakasih Tuhan telah
memberi bakat dramatis dan emosional kepada penulis lokal favorit hamba. Semua
cerita yang Risa tulis terasa sangat hidup. Seperti kisah Anette. Gue terharu!
Bisa gue bilang ini cerita yang paling gue suka. Ikatan hubungan antara Sonja,
Philf, dan Anette membuat gue tersentuh. Akhir dari cerita mereka bertiga juga
sukses membuat gue menitikkan beberapa tetes air mata. May their souls rest in peace.
Terdapat jutaan partikel dramatis dalam setiap kata yang
tercetak lembar demi lembar. Seperti yang beliau bilang sendiri, Nona Saraswati
merupakan orang berzodiak Pisces. Instannya, Risa memang ditakdirkan untuk
menjadi orang yang dramatis. Tapi ini nilai tambah kok, gue suka hal-hal
dramatis! Tapi gak tau juga deh pendapat kalian apa. Yang jadi resensator di
sini kan gue. Kok gue jadi sewot sih? Yaudah skip lagi. Intinya, dramatis sah dinobatkan menjadi ciri khas Risa
Saraswati, ehehehehek.
(Semoga Risa Saraswati
gak baca apa yang gue tulis di sini ya Allah. Gue takut dia marah karena gue
ejek dia dramatis terus. Semua bilang apaa? Aamiin)
(Eh tapi apa yang
salah jadi dramatis sih? Buktinya teh Risa bisa sukses karena dia dramatis)
(....Tuh kan gue
bilang dia dramatis lagi)
(..Ampuni aku teteh..)
(..Jangan bunuh aku..)
(..Aaaahh..)
*emot sedih*
Lanjut. Secara keseluruhan, buku ini asik banget dibaca kalau lagi hujan.
Kenapa? Soalnya hujan itu kan tenang, kalau dibarengi membaca Sunyaruri jadinya
geregetan. Pembukaannya dapet, klimaksnya dapet, tapi sayangakhirannya
kurang dapet, seperti ditinggalkan begitu saja. Gue gak akan cerita seperti apa
akhir ceritanya, kalau mau tau beli sendiri di Omuniuum (www.omuniuum.net) seharga Rp 65.000 ya! Iyalah, kalau kata anak
sekarang sih, modal dikit keleees.
Akhir
kata, I LOVE YOU RISA SARASWATI WITH ALL OF MY HEART
*emot cium* *emot cium* *emot cium* *dikali 1000*
Terimakasih infonya. Jangan lupa kunjungi kami juga ya !! https://bit.ly/2MnNWVl
BalasHapus