12/22/2013

Terasontime

Teras 66 On Time, Hah! Kita lucu, kita seru, kita satu!
Selamat malam, selamat datang di penghujung bulan Desember, bulang yang paling punya banyak cerita. Karena itu di bulan ini gue bakal lebih banyak curhat. Kali ini gue akan menceritakan keluarga baru gue, Teater Anak Seni 66 On Time.
Terasontime, begitu singkatannya. Meski terdapat kata “On Time” di belakangnya, terbukti teater ini terkenal akan keterlambatannya. Satu Jabodetabek tau eskul teater yang digawangi oleh Syarif Hidayatullah ini. “Mmh, Terasontime? Teater yang sering telat datang rapat itu ya?” atau “Terasontime? Ohh, yang waktu pementasannya ngaret itu ya?”. Bahkan salah satu pelatih teater SMA 97 bernama Heri, pernah berkata seperti ini “TERASONTIME CABUT AJA TUH NAMA ON TIME-NYA” karena kita semua sering terlambat datang di setiap pertemuan.
Sebenarnya penambahan kata “On Time” itu ada maksudnya pemirsa. Konon katanya, para leluhur menambahkan “On Time” karena mereka selalu kalah bergulat dengan waktu. Sedihnya lagi, penambahan kata tersebut tidak merubah nasib mereka dan hanya membuat Teater 66 diejek oleh teater lain. Awalnya memang hanya Teras sebutannya. Entah apa yang ada dalam pikiran para leluhur saat itu, namanya juga zaman dahulu kala masih percaya dengan hal magis. Sekarang, zaman sudah modern. Terasontime berkembang menjadi teater yang terkenal bukan hanya karena keterlambatannya namun juga karena prestasi yang telah diraih mereka. Sayangnya penyakit terlambat masih menjangkit keluarga Terasontime beserta keturunannya. Mungkin kutukan ini akan hilang bila mencapai generasi ketujuh. Penyakit percaya hal magis juga masih melekat pada keluarga ini, seperti percaya tumbal pra-FTS. FTS merupakan singkatan dari Festival Teater SMA, ajang bergengsi yang diikuti seluruh teater SMA se-Jabodetabek. Awalnya saya tidak percaya mitos ini namun ternyata ada benarnya juga. Dari setiap generasi pasti ada yang jatuh sakit sebelum lomba dimulai. Dimulai dari tahun 2010, seorang anggota yang bernama Rina terkena penyakit gondongan padahal waktu pementasan tinggal beberapa hari lagi. Tahun 2012 seorang anggota bernama Sarah terjatuh saat bermain peran. Terbesit luka sobek dari ujung sikut hingga pergelangan tangan karena bergesekan dengan aspal. Tahun 2013 seorang anggota bernama Faizah mengalami patah tulang pada lengan kirinya. Padahal, ia merupakan tokoh utama, harus menari balet, dan pementasan hanya tinggal 10 hari lagi. Cerita tersebut hanya sebagian kecil dari mitos tumbal, konon katanya tumbal akan jatuh pada setiap angkatan. Sayangnya, untuk angkatan 2015, yaitu angkatan saya, takdir memilih saya untuk tidak ikut pentas karena saya sakit cacar tepat 4 hari sebelum pementasan. Akhirnya saya percaya mitos itu benar adanya.
Atau itu hanya akal-akalan senior saya saja?
Oh ya, dalam Terasontime kami tidak mengenal senior dan junior, hanya ada sebatas kakak dan adik. Kami semua seperti keluarga, kata “senioritas” berdiri jauh dari kami. Justru, para junior yang senang memperpeloncoi para senior. Kami lebih senang menyebutnya “junioritas”. Tapi bila kakak-kakak kami sudah marah karena kami bercanda saat latihan, tak ada satupun yang berani menatap mata mereka.
Sejak tahun 2012 Terasontime tidak memiliki anak laki-laki lagi. Mungkin Sasya, istri dari Syarif, pelatih kami, kehabisan kromosom X. Sedih rasanya melihat saudara kami betina semua, semoga Sasya dan Syarif segera dianugrahi anak laki-laki.
Bila sedang latihan, eskul kita yang paling heboh. Biasanya, murid-murid lain akan memandang kami dengan tatapan jijik dan terkadang diikuti sorakan “Orang gilaaa orang gilaaa”. Tapi , Alhamdulillah karena kami memang sudah gila jadi ya kita haha-hihi aja. Motto kami adalah Keluar Dari Zona Nyaman. Saya rasa, semua eskul teater di sekolahnya pasti juga dianggap sama oleh eskul lain, setuju?
Di Terasontime saya diajarkan olah tubuh, berakting, dan materi yang paling saya senangi adalah menyatu dengan alam. Wajib hukumnya untuk melepas alas kaki bila sedang latihan walau matahari sedang bersinar terik, membuat aspal menjadi sangat panas dan dapat membuat telapak kaki kami melepuh. Tapi begitulah, terkadang kami berlatih di hamparan padang rumput. Tentu saja lokasinya berada di luar kota karena di Jakarta sangat jarang ditemukan padang rumput. Di sana, saya menemukan beragam jenis serangga tanah yang indah, bahkan semut sebesar buku-buku jari.
Keep this as a secret, teater kami lebih sering main daripada latihan.
Pernah suatu hari kami harus pentas dalam acara demo eskul. Semua sudah dipersiapkan dengan rapih, namun salah satu tokoh utama dalam cerita berhalangan hadir sehingga cerita harus dirombak habis-habisan. Waktu yang digunakan untuk mempersiapkan diri menuju pementasan rata-rata 4 hari. Waktu tercepat waktu itu adalah saat kurasi (eksibisi pra-FTS) pementasan Eng Ing Eng yaitu hanya setengah jam sebelum pementasan. Namanya juga “On Time”

Tautan ini memang dimaksudkan untuk sombong. Saya begitu bangga memiliki Terasontime. Akhir kata, masuk teater ya adik-adik! :3

Resensi (suka-suka) Sunyaruri

Baru beberapa jam gue selesai baca buku Sunyaruri, tangan gue udah gatal ingin meresensi novel terbaru Risa Saraswati yang masih mengisahkan tentang dia dan ketujuh teman kecilnya yang berketurunan Belanda itu. Membayangkan wajah pucat dengan pinggiran mata yang berwarna kehitaman, itu pertama kali yang gue kira-kira tentang gambaran teman-teman hantunya. Tapi, seperti dalam 2 buku sebelumnya, Nona Saraswati kembali menggambarkan mereka sebagai sosok-sosok yang lucu dan ramah untuk diajak bermain. Risa kembali “memanusiakan” mereka. Sunyaruri merupakan kelanjutan dari novel Danur dan Maddah. Seakan dibawa hanyut oleh cerita, seakan terhisap dalam dunianya, seakan-akan ikut menyaksikan kejadian-kejadian yang dialami Nona Saraswati.
Sunyaruri mengisahkan tentang kehidupan penulis yang telah lama menjalin persahabatan dengan tujuh anak kecil berkebangsaan Belanda yang pernah menjadi manusia. Persahabatannya kembali merenggang. Tidak hanya menceritakan tentang kisah persahabatannya, Risa juga menceritakan cerita teman-teman lainnya yang juga bukan manusia lagi, seperti Karina. Baru membuka beberapa halaman, sudah disaduri cerita yang dramatis. Beberapa kali gue harus menahan air mata saat membaca kisah Karina yang malang. Bagi yang belum membaca Sunyaruri, tautan ini dijamin penuh spoiler. Karina yang memiliki sikap kritis membuat ayah tirinya sering naik darah dan terkadang menganiayanya. Namun Karina tetap menyayangi ayahnya sekeji apapun perlakuannya. Haahhh, mata gue berkaca-kaca saat membacanya. Tapi, cara Nona Saraswati menggambarkan kejadian saat kepergian Karina sedikit mirip yang ada di sinetron-sinteron sih, hehehe. Dramatis.  Mulut gue sempat menganga saat membacanya. Meskipun terkesan melebih-lebihkan, sifat dramatis dari novel Sunyaruri ini menjadi nilai tambah sekaligus nilai kurang, karena kalau gak dramatis gue rasa akan “hambar” rasanya.
Belum selesai pemirsa. Dari cara pendongengan Risa Saraswati dalam novel Sunyaruri ini, tergambar bahwa beliau merupakan orang yang super emosional (bahkan Risa sendiri mengakuinya). Karena di dalam novel ini banyak segmen dimana Risa sedang marah dan menangis. Tapi terimakasih Tuhan telah memberi bakat dramatis dan emosional kepada penulis lokal favorit hamba. Semua cerita yang Risa tulis terasa sangat hidup. Seperti kisah Anette. Gue terharu! Bisa gue bilang ini cerita yang paling gue suka. Ikatan hubungan antara Sonja, Philf, dan Anette membuat gue tersentuh. Akhir dari cerita mereka bertiga juga sukses membuat gue menitikkan beberapa tetes air mata. May their souls rest in peace.
Terdapat jutaan partikel dramatis dalam setiap kata yang tercetak lembar demi lembar. Seperti yang beliau bilang sendiri, Nona Saraswati merupakan orang berzodiak Pisces. Instannya, Risa memang ditakdirkan untuk menjadi orang yang dramatis. Tapi ini nilai tambah kok, gue suka hal-hal dramatis! Tapi gak tau juga deh pendapat kalian apa. Yang jadi resensator di sini kan gue. Kok gue jadi sewot sih? Yaudah skip lagi. Intinya, dramatis sah dinobatkan menjadi ciri khas Risa Saraswati, ehehehehek.
(Semoga Risa Saraswati gak baca apa yang gue tulis di sini ya Allah. Gue takut dia marah karena gue ejek dia dramatis terus. Semua bilang apaa? Aamiin)
(Eh tapi apa yang salah jadi dramatis sih? Buktinya teh Risa bisa sukses karena dia dramatis)
(....Tuh kan gue bilang dia dramatis lagi)
(..Ampuni aku teteh..)
(..Jangan bunuh aku..)
(..Aaaahh..)
*emot sedih*
Lanjut. Secara keseluruhan, buku ini asik banget dibaca kalau lagi hujan. Kenapa? Soalnya hujan itu kan tenang, kalau dibarengi membaca Sunyaruri jadinya geregetan. Pembukaannya dapet, klimaksnya dapet, tapi sayangakhirannya kurang dapet, seperti ditinggalkan begitu saja. Gue gak akan cerita seperti apa akhir ceritanya, kalau mau tau beli sendiri di Omuniuum (www.omuniuum.net)  seharga Rp 65.000 ya! Iyalah, kalau kata anak sekarang sih, modal dikit keleees.
Akhir kata, I LOVE YOU RISA SARASWATI WITH ALL OF MY HEART

*emot cium* *emot cium* *emot cium* *dikali 1000*