5/28/2014
Resensi Abatoar
Sebenarnya saya bukan penggemar novel horror. Terakhir kali saya baca novel horror itu Sunyaruri, dan novel horror yang pernah saya baca tercatat cuma tiga; Danur, Maddah, dan Sunyaruri karya Risa Saraswati (semuanya). Namun sekitar 3 minggu yang lalu saya mendapat gratisan dari @kisahhorror yaitu novel horor slasher berjudul Abatoar. Jam tangan dalam ciki Jag*uar, iseng-iseng ikut kuis ternyata malah masuk dalam kelompok pemenang. Novel datang 2 hari setelah pengumuman pemenang kuis.
Novel Abatoar diterbitkan oleh Mediakita tahun 2014 ini. Bercerita tentang kumpulan pembunuh berdarah dingin yang terdiri dari lima manusia dengan watak yang berbeda-beda dan keseharian mereka. Mulai dari Mary; perempuan Tiongkok kaya raya, Bayu; pemuda penderita sakit maag dan sedikit emo (karena kalau galau karena sakit (perut) selalu sayat-sayat badan... orang), Patra; alumnus rumah sakit jiwa, Wina; mantan istri dari seorang pria pemarah, dan Mas Moh; laki-laki tua yang mencintai daging manusia. Kelompok mereka bubar setelah salah satu dari mereka melanggar peraturan yang telah disusun bagi anggotanya.
Suksesnya kehancuran kerajaan Abatoar itu disebabkan oleh seorang mahasiswi yang skripsinya belum selesai.
Alana, masuk dalam kategori orang sukses yang tidak lulus kuliah setelah Bill Gates, Steve Jobs, Felix Kjellberg, dan orang sukses lainnya yang belum pernah mencicipi toga karena masih menyandang status mahasiswi. Sukses mengehentikan perjalanan Mas Moh dan kuali berdarahnya.
*aggressively clapping*
*disertai tatapan jijik pembaca yang menganggap lelucon ini begitu garing*
Jadi, enam tokoh utama dengan karakter berbeda yang sama-sama keren. Hal keren lainnya dari novel ini adalah plot cerita yang antimainstream. Abatoar menjadi angin segar di dalam dunia pernovelan Indonesia ini yang banyak dikerumuni novel cinta murahan dan fanfiction penggemar boyband Korea. Membaca Abatoar layaknya menaiki sebuah roller coaster, deg-degan namun seru, mengerikan namun meninggalkan rasa ingin lagi setelahnya. Membayangkan bagaimana tumpukan bangkai manusia dalam "bungker" dan "dapur" Mas Moh berhasil membuat saya terdikte bahwa bukan tidak mungkin orang-orang dalam lingkar pergaulan saya sama gilanya seperti mereka berlima. Jijik, kagum, merinding, takut, semua bercampur jadi satu. Mas Moh menjadi tokoh favorit saya karena menurut saya dia yang paling kuat karakternya. Di dalam novel terdapat cetakan ilustrasi Mas Moh penuh dalam satu halaman yang begitu seram dan membuat saya kesusahan membaca halaman di sampingnya karena harus menutupi wajahnya yang jelek.
Serius loh admin, saya benci sekali ilustrasi wajah Mas Moh di sana.
Terlepas dari segala pujian di atas, novel keren ini juga tak luput dari kekurangan. Terdapat beberapa salah ketik (atau bahasa sekarangnya typo), pengandaian kata yang digunakan juga hiperbola. Kalimat-kalimat yang hiperbola menurunkan ke-intens-an jalannya cerita, yang tadinya adegan serius tapi jadi berubah menjadi seperti adegan dalam film-film Bolywood. Begitulah, pendapat saya sih agak dramatis. Kurang cocok untuk jalan cerita yang mengerikan.
Dan Mas Moh juga yang menambah poin negatif penilaian novel ini.
Mas Moh selalu bikin gigit bibir. Karena sadis iya, karena gemas juga iya. Alana disekap Mas Moh hampir seminggu, katanya kalau dijagal terburu-buru cepat busuk dagingnya. Memangnya Mas Moh gak kenal teknologi zaman sekarang yang disebut kulkas dan freezer ya? Saat Mas Moh menyiksa Alana sehabis dia mencoba menelpon polisi, pikiran saya berteriak, "Mas kenapa Alana-nya gak dibunuh cepat-cepat maaas keburu kiamaaatt errgghh"
*tombol "Tekan bila anda merasa ingin melempar botol minuman ke resensator" di sini*
Keseluruhannya Abatoar masih kece. Novel ini berlabel 18+, yang artinya anak kecil di bawah umur 18 belum boleh membacanya. Padahal saya aja belum foto KTP tapi sudah berani baca buku ini. I also like to live dangerously.
Saya beri nilai 8.5 dari 10 potongan kaki manusia untuk Abatoar.
Sukses terus, kisahhorror. Ditunggu karya-karya berikutnya.
Langganan:
Postingan (Atom)